Inilah Hikmah Poligami

Ilustrasi
Antara tiga metode di atas, manakah yang lebih layak bagi laki-laki dan manakah yang lebih terhormat dan bermanfaat bagi perempuan?”
Sebelumnya, Syekh Ali As-Shabuni menjelaskan, poligami adalah suatu tuntunan hidup, dan ini bukan undang-undang baru yang hanya dibawa oleh Islam.
Islam datang dengan menjumpai kebiasaan tersebut tanpa batas dan tidak berperikemanusiaan, lalu diatur dan dijadikannya sebagai obat untuk beberapa hal yang terpaksa yang selalu dihadapi masyarakat.
Islam datang, ketika banyak laki-laki yang beristrikan 10 orang atau lebih, seperti yang tersebut dalam hadis Ghailan. Ketika masuk Islam dia mempunya istri 10 orang. Dan ini bukan terbatas sampai 10 dan tidak terikat.
Begitulah lalu Islam datang seraya berbicara dengan orang-orang laki-laki bahwa disana ada batas yang tidak boleh dilalui, yaitu empat orang. Dan di sana ada pula ikatan dan syarat, yaitu adil terhadap semua istrinya. Apabila adil ini tidak dapat dilaksanakan, maka dia hanya diperkenakan kawin seorang, atau terhadap hamba sahayanya.
Dengan begitu jelaslah, bahwa poligami itu sudah ada sejak dahulu kala, tetapi dengan tidak teratur. Lalu oleh Islam diaturnya. Poligami ketika itu hanya memperturutkan nafsu dan selera. Lalu oleh Islam dijadikannya sebagai sarana untuk menuju kehidupan yang utama.
Satu hal yang perlu diketahui oleh setiap insan, bahwa poligami ini adalah salah satu kebanggaan Islam karena dengan poligami itu Islam mampu memecahkan problema yang sukar dipecahkan yang selama ini dihadapi oleh bangsa-bangsa dan masyarakat, sampai hari ini juga.
Agaknya tidak akan kita jumpai jalan untuk memecahkan problema tersebut kecuali kita harus kembali kepada hukum Islam, dan menjadikannya sebagai nizam (aturan hidup).
Di sana ada beberapa sebab yang memaksa adanya poligami itu, misalnya karena mandul, sakit yang menyebabkan suami tidak dapat memuaskan nafsu seksnya kepada istrinya dan sebagainya yang tidak perlu kita sebut satu per satu di sini. Di sini hanya kita isyaratkan satu titik untuk supaya mudah dipahami.
Masyarakat, dalam pandangan Islam tak ubahya sebuah neraca, yang kedua sisinya itu harus seimbang. Maka untuk menjaga keseimbangan neraca itu, penimbangan jumlah pria dan wanita seharusnya sama. Kalau sampai terjadi tidak berimbang, misalnya laki-laki lebih banyak dari wanita, atau wanita lebih banyak dari laki-laki, lalu bagaimana kita bisa memecahkan problema tersebut?