FOBO, Mengapa Marak?

 FOBO, Mengapa Marak?

Ilustrasi: FOBO

SEIRING perubahan zaman, teknologi informasi turut membawa fenomena FOBO (Fear of Better Options) yang semakin marak di kalangan remaja.

FOBO merupakan kondisi yang menggambarkan psikologis seseorang di mana mereka menunda mengambil keputusan karena ketakutan irasional dan kemungkinan terdapat pilihan lebih baik dari yang dipilih. Kondisi semacam ini mengakibatkan mereka tidak memunculkan komitmen terhadap pilihan yang diambil.

Sejarah FOBO

Istilah ini muncul bersamaan dengan kata FOMO (Fear of Missing Out) pada tahun 2004 dalam sebuah artikel berjudul “Social Theory at HBS: McGinnis’ Two FOs” oleh Patrick McGinnis yang merespon kecemasan mahasiswa pascasarjana Harvard.

Istilah ini ditujukan kepada elite profesional dan kelas menengah atas yang memiliki banyak pilihan dalam hidup, baik pekerjaan, hubungan, liburan, dan lainnya.

Selanjutnya, pemaknaan berkembang sekitar tahun 2010 yang dikaitkan dengan pengaruh dari media sosial dan tekanan hidup akibat tren.

Di era digital, FOBO berkembang menjadi salah satu manifestasi kecemasan eksistensial modern yang diperparah oleh sistem kapitalisme dan algoritma ‘pilihan lebih baik’. Pada 2020, McGinnis menyebutkan bahwa fenomena FOBO dapat mengakibatkan stres karena seseorang tidak pernah merasa puas.

Kapitalisme dan Ilusi Pilihan

Dalam memahami akar permasalahan fenomena FOBO, kita harus melihat bagaimana sistem kehidupan yang digunakannya. Saat ini, kita hidup dalam sistem kapitalisme yang menganut akidah sekuler, memisahkan agama dari kehidupan sehingga aturan kehidupan dibuat oleh manusia dengan prinsip kebebasannya. Kapitalisme menanamkan keyakinan bahwa semakin banyak pilihan, semakin bebas, semakin banyak mencoba, dan semakin sukses hidup kita.

Namun, realitanya semakin banyak pilihan tanpa ada bimbingan justru membuat bingung dan cemas. Hal tersebut dikarenakan masyarakat kapitalis membentuk budaya ‘yang terbaik’ sehingga pilihan yang diambil selalu terasa kurang memuaskan karena akan ada yang lebih baik di luar sana. Mari kita lihat dari beberapa sub sistem;

1. Sistem Ekonomi

Masalah utama dalam ekonomi kapitalis adalah konsumsi. Konsumen dijebak dalam siklus yang tidak pernah puas untuk memperoleh keuntungan maksimal. Misalnya, produk dan layanan dikemas dengan sedemikian rupa agar konsumen selalu ingin lebih dan membeli terus menerus. Standar gaya hidup yang ditetapkan membuat masyarakat tertekan. Kompetisi produk serupa melalui strategi iklan, diskon, voucher, dan sebagainya mengarahkan mereka untuk memilih ‘yang terbaik’ dan mendorong perilaku konsumtif.

2. Sistem Politik Pemerintahan

Dalam sistem pemerintahan demokrasi, dikenal istilah pemilu untuk memilih seorang pemimpin, baik tingkat desa sampai negara. Masyarakat diberikan pilihan calon pemimpin dan dibuat bingung dengan pilihannya sendiri. Kampanye politik yang membutuhkan dana bukan lagi soal visi dan misi, tetapi siapa yang dapat menjual citra terbaik. Akhirnya, masyarakat dibuat trauma oleh janji-janji yang tidak ditepati. Disini, rakyat seolah diberi kebebasan memilih, nyatanya hanya ditawari segelintir orang yang telah dikurasi sistem.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 − twelve =