Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar (1)

Buya Hamka
Oleh:
Rakhmad Zailani Kiki
Peneliti Islam di Betawi dan Jakarta, Redaktur Mediaislam.id
RISET Jakarta Islamic Centre (JIC) pada tahun 2022 tentang inventarisasai karya tafsir Al-Qur`an dan hadits ulama Jakarta memasukkan Buya Hamka sebagai ulama tafsir Al-Qur`an dari Jakarta. Masuknya Buya Hamka sebagai ulama Jakarta karena beliau walau berasal dari Sumatera Barat namun berdomisili di Jakarta, banyak berkiprah di Jakarta, wafat di Jakarta dan dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Buya Hamka memberikan nama untuk karya tafsir Al-Qur`annya dengan nama Tafsir Al-Azhar. Kitab Tafsir Al Azhar memiliki corak atau haluan budaya kemasyarakatan, namun bukan berarti bahwa kitab ini tidak membahas tentang hal-hal lain yang biasanya dibahasa dalam kitab-kitab tafsir yang lain seperti bahasan tentang fiqih, tasawuf, sains, filsafat dan lain sebagainya. Dalam pembahasan bab fiqih, Hamka lebih kepada mejelaskan makna ayat yang ditafsirkan untuk menunjang tujuan pokok yang ingin dicapainya, yaitu menyampaikan petunjuk-petunjuk al Quran yang berguna bagi kehidupan masyarakat.
Buya Hamka sendiri merupakan salah seorang ulama Indonesia yang memberikan kontribusi kepada umat Islam melalui tulisan. Dan Tafsir Al-Azhar memberikan pengaruh secara global, setidaknya di Asia Tenggara. Pengaruh dari kitab Buya Hamka di antaranya dapat dilihat dari penggunaan Tafsir Al-Azhar yang meluas di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Kamboja. Bahkan Malaysia dan Singapura memiliki edisi khusus dan penerbitan sendiri tafsir tersebut.
Selain penerbitan karya Buya Hamka di luar Indonesia, kajian terhadap karya tersebut telah dilakukan oleh banyak sarjana, baik di luar maupun di dalam negeri. Di antara mereka yang mengkaji kitan tafsir ini adalah Mun’im Sirry dari Notredame University, Chairudin Al Hibrid dari National University of Singapore, Tuban Yusu dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Norbani Ismail dari Goergetown University.
Riwayat Hidup
Nama asli Buya Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang disingkat dengan Hamka. Beliau berasal dari Padang Panjang, Minagkabau. Sumatera Barat.namun kemudian menetap dan wafat di Jakarta.
Buya Hamka belajar formal hanya sampai kelas 2 SD. Selanjutnya beliau belajar otodidak. Beliau menguasai berbagai macam bahasa, menjadi mufasir, juru dakwah, penulis, budayawan sastrawan, wartawan. Beliau adalah sosok yang multi talenta. Universitas Al Azhar memberi penghargaan yang luar biasa. Pernah diundang oleh Universitas AL Azhar, dan yang hadir adalah para agamawan, profesor, ahli antropologii, ahli sejarah dan para pakar di bidang lain. Peserta yang hadir terkagum-kagum, melongo, dengan kemampuan dan penguasaan bahasa dan materinya. Bahasa dengan satra yang tinggi, fiqih yang sangat bagus, ahlak yang luar biasa. Beliau adalah manusia langka.
Buya Hamka lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dari pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah. Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh pada pendirian dari ayahnya yang dikenal sebagai ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau serta salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan yang membawa reformasi Islam (kaum muda). Nama Hamka sendiri merupakan akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sedangkan sebutan Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau. Kata Buya sebenarnya berasal dari kata abi, atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau orang yang dihormati.
Jika banyak tokoh berpengaruh yang bertahun-tahun menimba ilmu di sekolah formal, tidak demikian halnya dengan Buya Hamka. Pendidikan formal yang ditempuhnya hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Setelah itu, saat usianya menginjak 10 tahun, Buya Hamka lebih memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam yang didirikan ayahnya sekembalinya dari Makkah sekitar tahun 1906.
Di sekolah itu, Buya Hamka mulai serius mempelajari agama Islam serta bahasa Arab. Sejak kecil Buya Hamka memang dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu. Selain di sekolah, ia juga menambah wawasannya di surau dan masjid dari sejumlah ulama terkenal seperti Syaikh Ibrahim Musa, Syaikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Pada tahun 1924, Buya Hamka yang ketika itu masih remaja sempat berkunjung ke Pulau Jawa. Di sana ia banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesia diantaranya Haji Omar Said Chakra Aminoto, Haji Fakharudin, Hadi Kesumo bahkan pada Rashid Sultan Mansur yang merupakan saudara iparnya sendiri.
Selanjutnya pada 1927, berbekal ilmu agama yang didapatnya dari berbagai tokoh Islam berpengaruh tadi, Buya Hamka memulai karirnya sebagai Guru Agama di Perkebunan Tebingtinggi, Medan. Dua tahun kemudian, ia mengabdi di Padang masih sebagai Guru Agama. Masih di tahun yang sama, Hamka mendirikan Madrasah Mubalighin. Bukan hanya dalam hal ilmu keagamaan, Hamka juga menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) sosiologi dan politik. Yang menarik, semua ilmu tadi dipelajarinya secara otodidak tanpa melalui pendidikan khusus. John L. Espito dalam Oxford History of Islam bahkan menyejajarkan sosok Hamka dengan Sir Muhammad Iqbal, Sayid Ahmad Khan dan Muhammad Asad.
Buya Hamka juga pernah menekuni bidang jurnalistik dengan berkarir sebagai wartawan, penulis, editor dan penerbit sejak awal tahun 1920an. Ia tercatat pernah menjadi wartawan berbagai surat kabar, yakni Pelita Andalas, Seruan Islam dan Bintang Islam.
Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Buya Hamka memulai kiprahnya di dunia politik dengan menjadi anggota partai Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Selanjutnya Buya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953.
Bersama dengan KH Fakih Usman, Buya Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat pada Juli 1959. Majalah ini menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibredel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr Muhammad Hatta berjudul ‘Demokrasi Kita’, yang isinya mengkritik tajam konsep Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967. Hamka sendiri dipercaya sebagai pimpinan umum majalah Panji Masyarakat hingga akhir hayatnya.
Buya Hamka juga pernah menjadi editor di majalah Pedoman Masyarakat dan Gema Islam. Pada tahun 1928 hingga 1932, Hamka pernah menjadi editor sekaligus penerbit dari dua media yang berbeda, yakni majalah Kemajuan Masyarakat yang terbit hanya beberapa nomor serta majalah al-Mahdi di Makasar.
Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Setahun kemudian, beliau mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Pada 1931, beliau menjabat sebagai konsul Muhammadiyah di Makassar.
Lima tahun berselang, usai menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah, Buya Hamka pindah ke Medan. Kemudian di tahun 1945, beliau kembali ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Saat itulah, bakatnya sebagai pengarang mulai tumbuh. Buku pertama yang dikarangnya berjudul Khathibul Ummah, yang kemudian disusul dengan sederet judul lain yakni Revolusi Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, dan Menunggu Beduk Berbunyi.
Saat perang revolusi, Buya Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Lewat pidato, ia mengobarkan semangat para pejuang untuk merebut kedaulatan negara. Dalam kisah perjuangannya, Buya Hamka juga pernah ikut serta menentang kembalinya Belanda ke Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan. Selain didorong rasa cinta pada Tanah Air yang demikian besar, semangat perjuangan Buya Hamka juga senantiasa berkobar tiap kali mengingat pesan ayahnya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930 di Bukittinggi, “Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju kebenaran.”
Pasca kemerdekaan, Konferensi Muhammadiyah memilih Buya Hamka untuk menduduki posisi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto di tahun 1946. Lalu pada 1947, beliau menjabat sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional yang beranggotakan Chatib Sulaeman, Rasuna Said dan Karim Halim. Hamka juga mendapat amanat dari Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956) Mohammad Hatta untuk menjabat sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional.
Pada tahun 1953, Buya Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1951-1960, Buya Hamka mendapat mandat dari Menteri Agama Indonesia untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama. Namun belakangan, beliau lebih memilih untuk mengundurkan diri sebab pada waktu itu Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966). Presiden Soekarno memintanya memilih antara menjadi pegawai negeri atau berkiprah di dunia politik.
Pada tahun 1955, Buya Hamka memang tercatat sebagai anggota konstituante Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan berpidato dalam Pemilu Raya di tahun yang sama. Meskipun pada akhirnya, partai yang didirikan di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) di Yogyakarta pada 7 November 1945 itu dibubarkan Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno di awal tahun 1960. Pada dekade 1950-an, politik seakan menjadi “panglima”, menyikapi kenyataan tersebut, Hamka pernah menyampaikan pernyataannya yang melukiskan martabat sebagai pemimpin umat, “Kursi-kursi banyak, dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi kursiku adalah buatanku sendiri,” kata Hamka seperti dikutip dari situs Republika.co.id
Buya Hamka kembali ke dunia pendidikan pada tahun 1957 setelah resmi diangkat menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang. Karirnya sebagai pendidik terus menanjak, setelah ia terpilih sebagai rektor pada Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, kemudian dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta, dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Di samping sering memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi, Hamka juga menyampaikan dakwahnya melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI yang diminati jutaan masyarakat Indonesia di masa itu.
Menjelang tumbangnya rezim Orde Lama, persisnya tahun 1964, Buya Hamka pernah mendekam di penjara selama dua tahun karena dituduh pro-Malaysia. Meski secara fisik ia terkurung, Buya Hamka terus berkarya. Jika kebanyakan orang usai menjalani hukuman sebagai tahanan politik lebih memilih untuk mengeluarkan buku kecaman terhadap rezim penguasa, tak demikian halnya dengan Buya Hamka.
Beliau justru menghasilkan mahakarya yang membuat namanya tersohor hingga ke mancanegara, yakni tafsir Al Quran yang diberi nama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama masjid tempat Buya Hamka selalu memberikan kuliah subuh. Tafsir Al-Azhar yang berisi terjemahan Al-Quran sebanyak 30 juz lengkap itu merupakan satu-satunya Tafsir Al Qur’an yang ditulis oleh ulama Melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna. Di antara ratusan judul buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hingga hari ini, bisa dibilang Tafsir Al-Azhar adalah karya Buya Hamka yang paling fenomenal.*
Bersambung…