Ajarlah Anak-anakmu Mengaji, Jangan Hanya Kau Suruh “Angon Sapi”

Ilustrasi: Para santri di sebuah Pondok Pesantren.
MUFTI Betawi, Sayid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al Alawi (1822-1914), menulis sebuah kitab berjudul “Adabul Insan.” Kitab itu ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Berisi 27 pasal tentang kelakuan-kelakuan baik (terpuji) bagi manusia.
Pada pasal kelima, Penasihat (Adviseur Honorair) Urusan Arab Pemerintah Hindia Belanda pada periode 1899-1914 itu menuliskan tentang adab kelakuan seorang ayah mengajar anak-anak.
Sayid Usman menulis, “Bermula terlebih fardhu atas bapak bahwa mengajarkan anaknya mengaji atau menyerahkan kepada guru yang betul ajarannya, maka setelah ia tamat maka diajarkannya ilmu yang wajib-wajib yaitu sifat dua puluh dan rukun-rukun dan diperintahkan dia membuat ibadah yang wajib dan menjauhkan segala yang haram dan diperintahkan dia bercampur kepada orang baik-baik supaya mendapat ikut kelakuan yang baik dan dicegahkan daripada bercampur kepada orang-orang jahat atau anak-anak yang tiada dapat ajaran sebab itu menarik pada perangai jahat.
“Dicegahkan pula daripada mengadu-ngadu seumpama jangkrik atau ayam atau kelapa, supaya jangan perangainya suka mengadu satu sama lain. Ditakuti nanti ia suka adu hadrah atau adu qiraat atau adu ilmu, maka kesudahannya itu menjadi kebinasaan dunia akhirat adanya,” lanjut Sayid Usman.
Kemudian, sang anak juga harus diajarkan untuk memegang suatu pencaharaian yang halal. Dengan demikian sang anak akan menjadi anak baik yang menyenangkan ayah ibunya.
Menurut Sayid Usman, anak-anak yang kurang hormat kepada orang tuanya atau anak yang memiliki tingkah laku atau perangai yang tidak baik atau kurang ajar, hal itu dikarenakan kurangnya pengajaran.
Syahdan, lanjut Sayid Usman, dihikayatkan ada seorang datang mengadukan perihal anaknya kepada seorang ulama. Sang ayah mengadu bila anaknya telah “menabok mukanya.”
Maka, sang ulama pun berkata pada orang tersebut. “Apakah engkau telah mengajar anakmu mengaji?” Orang tersebut menjawab, “belum.”
Sang ulama kemudian bertanya lagi, “Apakah anak itu sudah berkumpul dengan orang baik-baik?” Maka berkata orang itu: belum.
Lalu, sang ulama bertanya, “Apa saja pekerjaan anakmu itu?” Orang itu menjawab, “Hanya hamba suruh mengangon sapi.”
Maka berkata lah ulama tersebut, “Dari itu anak belum dapat membedakan antara kepala sapi dengan kepalamu.”
Alias, pantaslah si anak belum dapat membedakan kepala sapi dengan kepala ayahnya dikarenakan tidak diajar juga tidak berkumpul dengan orang-orang berilmu dan berakhlak baik. Karena itu, duhai ayah ibu, didiklah anakmu dan kumpulkan mereka dengan orang-orang saleh dan berilmu. Wallahu a’lam. [SR]