Israel Gunakan Hukum sebagai Alat Intimidasi di Persidangan Syekh Ikrima Shabri

 Israel Gunakan Hukum sebagai Alat Intimidasi di Persidangan Syekh Ikrima Shabri

Syekh Ikrimah Shabri [foto: GettyImages]

Yerusalem (Mediaislam.id) – Di tengah ketegangan yang terus memuncak di kota suci, persidangan terhadap Syekh Ikrima Shabri, khatib Masjid Al-Aqsha yang sudah puluhan tahun membela tempat suci umat Islam itu, kembali memperlihatkan bagaimana otoritas pendudukan Israel menggunakan hukum sebagai alat intimidasi.

Sebelum persidangan dimulai, Syekh Shabri sempat melontarkan kalimat yang menyayat: “Nasibmu akan seperti Ahmed Yassin.” Ancaman semacam itu menunjukkan betapa masifnya tekanan yang ia hadapi, sebuah upaya terang-terangan untuk membungkam suara yang selama ini berdiri teguh membela Al-Aqsha dari kampanye Yahudisasi dan kebijakan ekstremis yang didorong Ben-Gvir dan kelompok pemukimnya.

“Ini Upaya Membungkam Para Pembela Al-Aqsha”

Dalam pernyataannya yang tegas, Syekh Shabri menilai bahwa Israel sengaja mencampuradukkan konsep-konsep agama Islam dengan interpretasi politik demi membenarkan penindasan.

“Ungkapan yang kami gunakan adalah bagian dari kewajiban agama kami, dan otoritas Israel tidak berhak menafsirkannya sesuai kepentingan politik mereka,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa seluruh ancaman dan hasutan terhadap dirinya tidak memiliki dasar ilmiah maupun hukum. Bagi Syekh Shabri, proses ini hanyalah satu dari sekian banyak cara pendudukan untuk melemahkan siapa pun yang berani membela Masjid Al-Aqsha, terutama tokoh-tokoh agama yang masih berani bersuara.

Rincian Persidangan: Tuduhan yang Dipaksakan

Persidangan berlangsung di tengah situasi sensitif bagi Yerusalem. Jaksa penuntut Israel menuduh Syekh Shabri melakukan “hasutan terorisme”, berdasarkan dua pidato belasungkawa yang ia sampaikan di kamp pengungsi Shuafat dan Jenin pada 2022.

Ia juga menghadapi dakwaan lain terkait khotbah perpisahan atas wafatnya Ismail Haniyeh—mantan Kepala Biro Politik Hamas—yang oleh Israel ditafsirkan sebagai dorongan untuk melakukan kekerasan.

Bagi banyak warga Yerusalem, tuduhan ini dianggap sebagai alasan yang dipaksakan untuk membatasi peran ulama di tengah meningkatnya agresi Israel di Al-Aqsha.

Dewan Ulama Yerusalem: “Ini Serangan terhadap Otoritas Keagamaan”

Dewan Ulama dan Pendakwah di Yerusalem mengecam keras persidangan ini, menyebutnya sebagai “serangan serius terhadap otoritas keagamaan di Yerusalem”.

Menurut Dewan, target sesungguhnya bukan hanya Syekh Shabri sebagai individu, melainkan upaya sistematis untuk melemahkan seluruh ulama Palestina. Persidangan ini dinilai sebagai preseden ilegal yang mengancam kemampuan para ulama dalam mempertahankan hak-hak keagamaan dan identitas Al-Aqsha.

Lebih jauh, Dewan memperingatkan bahwa ancaman terhadap Syekh Shabri juga merupakan “seruan eksplisit untuk membunuhnya”, menyinggung bahaya dari kebisuan dunia internasional dan negara-negara Muslim terhadap kasus ini.

Kecaman Internasional: “Upaya Mematahkan Semangat Kebenaran”

Dr. Ali al-Qaradaghi, Sekretaris Jenderal Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional, menggambarkan persidangan ini bukan sekadar kontroversi hukum, tetapi serangan terhadap kebebasan beragama dan suara kebenaran.

“Pendudukan Israel berusaha mengubah lanskap keagamaan di Yerusalem sesuai standar mereka sendiri,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa penargetan ulama adalah strategi politik yang bermaksud melemahkan fungsi ilmu pengetahuan, memutus kesadaran keagamaan masyarakat, dan menciptakan ketakutan agar tidak ada yang berani melawan pendudukan.

Kecaman juga datang dari berbagai jurnalis dan aktivis internasional. Jurnalis Khadija Ben Gana menyebut persidangan ini “peristiwa berbahaya dan belum pernah terjadi sebelumnya”. Menurutnya, menyasar ulama seterkenal Syekh Shabri—yang telah berkhotbah di Al-Aqsa selama lebih dari lima dekade—adalah upaya terang-terangan untuk menghapus identitas keagamaan Yerusalem.

Melampaui Hukum: Serangan Politik yang Mengancam Kebebasan Beragama

Persidangan Syekh Ikrima Sabri memperlihatkan perubahan berbahaya dalam kebijakan Israel: menjadikan hukum sebagai alat untuk membungkam suara-suara yang membela Masjid Al-Aqsha dan identitas Palestina.

Proses ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari sistem penindasan yang lebih luas yang mencakup pembatasan ruang ibadah, penargetan tokoh agama, hingga upaya mengubah status quo Al-Aqsha.

Di lapangan, ribuan warga Yerusalem dan Gaza yang masih hidup di bawah pendudukan menghadapi kekerasan, pengusiran, dan pembatasan akses ke tempat-tempat suci. Suara-suara seperti Syekh Shabri menjadi harapan terakhir untuk mempertahankan identitas religius dan kultural Palestina.

Titik Kritis bagi Dunia Islam dan Komunitas Internasional

Kasus ini membawa pesan yang jelas: pendudukan Israel tengah menguji batas kesabaran dunia. Kebungkaman internasional hanya akan memperkuat praktik represif yang membahayakan hak-hak keagamaan dan kebebasan berekspresi di Yerusalem.

Komunitas Palestina dan dunia Muslim kini berada pada titik kritis. Jika tindakan keras terhadap ulama seperti Syekh Ikrima Shabri dibiarkan tanpa tekanan global, konsekuensinya akan berdampak long-term: hilangnya otoritas keagamaan, pembisuan tokoh-tokoh kebenaran, dan mempercepat perubahan identitas Yerusalem yang telah menjadi jantung spiritual umat Islam selama berabad-abad.

sumber: infopalestina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × one =