Hati-Hati, Scrollmu Menentukan Fokusmu

 Hati-Hati, Scrollmu Menentukan Fokusmu

PERILAKU scrolling tanpa henti di media sosial bukan sekadar kebiasaan ringan, tetapi praktik yang membentuk atensi, nilai, bahkan identitas. Artikel ini menganalisis bagaimana algoritma digital memengaruhi fokus kognitif dan spiritual umat Muslim. Dengan memadukan perspektif teologi Islam (konsep niat dan perhatian hati), kritik sosial (komodifikasi perhatian), dan psikologi media (dopamin loop dan attentional control), artikel ini mengajak pembaca untuk lebih sadar akan implikasi etis dan spiritual dari perilaku daring. Fokus utama: bagaimana menjaga kebersihan hati dan fokus hidup di era distraksi digital.

Media sosial adalah salah satu inovasi teknologi paling berpengaruh dalam membentuk perilaku manusia kontemporer. Fenomena infinite scroll—kemudahan menggulir konten tanpa batas—menjadi kebiasaan harian yang mengonsumsi waktu, atensi, dan energi mental.

Statistik menunjukkan rata-rata pengguna media sosial menghabiskan lebih dari 2–3 jam per hari untuk scrolling (Statista, 2023). Namun, jarang disadari bahwa scrolling bukan hanya kegiatan netral, tetapi sarana yang membentuk fokus kita: apa yang kita lihat, kita pikirkan; apa yang kita pikirkan, kita prioritaskan.

Dalam tradisi Islam, hati (qalb) bukan hanya organ biologis, melainkan pusat perhatian, niat, dan nilai. Maka pertanyaan penting muncul: Bagaimana scrollmu menentukan fokus hatimu, dan apa dampaknya terhadap ibadah, akhlak, dan tujuan hidup?

Kerangka Teoretis
1. Konsep Hati (Qalb) dalam Islam
Al-Qur’an menggambarkan hati sebagai pusat kesadaran moral dan spiritual:

“Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami.”
(QS. Al-A’raf: 179)

Hadis Nabi ﷺ juga menegaskan:

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, hati adalah pusat focus dan niat yang menjadi dasar amal. Islam menekankan penjagaan hati dari penyakit riya’, hasad, lalai, dan cinta dunia berlebihan.

2. Teori Psikologi Atensi
Menurut psikologi kognitif:
a. Attentional Control Theory (Eysenck et al., 2007): fokus atensi kita dipengaruhi oleh stimulus eksternal yang terus-menerus. Distraksi kronis menurunkan kontrol diri.
b. Dopamin Loop: media sosial memicu pelepasan dopamin (hormon kesenangan) lewat notifikasi, likes, dan konten viral. Ini membentuk adiksi dan perilaku impulsif (Montag & Diefenbach, 2018).
c. Persuasion Architecture: Desain algoritma dibuat untuk memaksimalkan engagement pengguna—bukan kebaikan pengguna (Zuboff, 2019).

Kritik Sosial: Ekonomi Atensi dan Komodifikasi Fokus
Shoshana Zuboff (2019) dalam Surveillance Capitalism mengkritik bagaimana perusahaan teknologi mengkomodifikasi perhatian manusia. “Attention economy” mengubah fokus manusia menjadi sumber daya yang dijual ke pengiklan.

• Apa yang kita lihat di media sosial bukan netral.
• Feed kita dikurasi oleh algoritma berdasarkan minat dan interaksi sebelumnya.
• Algoritma memprioritaskan konten yang memicu emosi (marah, takut, senang).

Akibatnya, scrolling bukan hanya hiburan pasif, tetapi praktik yang mendikte apa yang kita pikirkan dan rasakan.

Dampak sosial:
• Polarisasi opini.
• Penyebaran hoaks.
• Penggembungan ego (self-promotion).
• Eksploitasi kesedihan (poverty porn).

Telaah Teologis: Hati dan Distraksi
Islam mengajarkan agar hati bersih dan fokus kepada Allah:
• Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa): Membersihkan hati dari lalai dan penyakit.
• Ikhlas: Niat hanya untuk Allah.
• Tadabbur: Merenungi ayat-ayat Allah.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
(QS. Al-Isra’: 36)

Scrollmu adalah konsumsi informasi. Apakah itu menambah pengetahuan bermanfaat, atau hanya menumpuk sampah mental?

Dampak Spiritual Scroll yang Tidak Terkontrol
a. Hati Menjadi Lalai
“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
(QS. Al-A’raf: 205)

b. Normalisasi Dosa Kecil
Konten tak senonoh, gosip, fitnah menjadi hiburan harian.
c. Komparasi Sosial
Melihat “highlight” orang lain memicu iri, dengki, dan rendah diri.
d. Waktu Terbuang
Waktu yang bisa digunakan untuk ibadah, belajar, atau aktivitas produktif hilang tanpa sadar.

Perspektif Filsafat Teknologi
Martin Heidegger dalam The Question Concerning Technology (1954) berpendapat bahwa teknologi bukan netral, tetapi memiliki “frame” yang membentuk cara manusia melihat dunia.

• Media sosial membingkai nilai hidup: yang cepat, singkat, menghibur.
• Atensi terfragmentasi, sulit untuk fokus panjang (deep work).
• Spiritualitas menuntut kontemplasi, bukan distraksi.

Rekomendasi Praktis: Menjaga Fokus Hati di Era Scroll
a. Audit Konten
Evaluasi akun yang diikuti. Apakah mendekatkan atau menjauhkan dari Allah?
b. Niatkan Penggunaan
Sebelum membuka sosmed, tanyakan: “Untuk apa?”
c. Waktu Terukur
Gunakan batasan waktu. Matikan notifikasi.
d. Amal Sunyi
Ganti sebagian waktu scrolling dengan zikir, tadabbur, membaca Al-Qur’an.
e. Kurasi Feed
Follow akun yang menenangkan hati dan menambah ilmu.
f. Digital Minimalism
Newport (2019): Gunakan teknologi secara sadar, bukan sebagai default life.

Scrollmu menentukan fokusmu bukan slogan kosong, tetapi peringatan serius. Dalam Islam, hati adalah pusat amal dan nilai. Algoritma media sosial mendikte apa yang kita lihat, pikirkan, dan rasakan. Tanpa kontrol diri, hati terisi hal-hal sia-sia, bahkan dosa.

Islam menuntut tazkiyatun nafs—penyucian jiwa—yang mensyaratkan perhatian penuh terhadap apa yang kita konsumsi. Di era infinite scroll, memilih apa yang dilihat sama pentingnya dengan memilih apa yang dimakan. Karena di akhirnya, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hati kita.*

Ade Suhandi
Kepala Sub Divisi Penyiaran PPIJ – Dosen Komunikasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen + eighteen =