Universitas Islam Gaza Buka Kembali Aktivitas Pendidikan
Sebuah kelas di Universitas Islam Gaza penuh dnegan mahasiswa yang memulai belajar kembali, 7/12/2025. [foto: Xinhua]
Gaza (Mediaislam.id) – Sejumlah perguruan tinggi di Gaza, Palestina, telah kembali melaksanakan aktivitas pendidikan di tengah kondisi gencatan senjata dan bangunan yang sebagian besar hancur.
Sebelum perang, Gaza memiliki tujuh universitas dan 11 sekolah tinggi. Genosida Israel di Jalur Gaza telah menimbulkan kerugian besar, dengan sedikitnya 1.111 mahasiswa dan 193 akademisi serta profesor tewas, termasuk Sufian Tayeh, Presiden Universitas Islam Gaza.
Universitas Islam Gaza termasuk salah satu kampus yangt telah dibuka kembali bagi mahasiswa tahun pertama untuk program-program yang membutuhkan pembelajaran praktis seperti kedokteran, teknik, sains, keperawatan, teknologi informasi, dan hukum.
Hampir setiap sudut Universitas Islam Gaza kini berubah fungsi. Di halaman kampus berdiri deretan tenda pengungsian yang saling berhimpitan, sementara koridor-koridornya menjelma menjadi pasar kecil tempat warga menjajakan sayur, makanan kaleng, atau apa pun yang masih bisa diperdagangkan.
Di kampus terbesar di Jalur Gaza itu, tali-tali jemuran membentang di fasad bangunan yang menghitam karena terbakar. Anak-anak berlarian di antara puing-puing, menemukan permainan dari sisa-sisa bangunan yang runtuh. Wajah kampus yang dulu menjadi simbol pendidikan terbaik di Palestina kini sulit dikenali.
Bangunan-bangunan yang retak akibat pemboman berubah menjadi kamp pengungsian raksasa, ruang yang dipenuhi ingatan kolektif yang hancur. Dari gerbang utama hingga sudut terdalam kampus, suasananya mengingatkan pada babak baru dari sebuah nakba yang tak selesai.
Upaya Bangkit Kembali
Di tengah warna kelabu itu, ada titik-titik terang: beberapa ruang kelas yang baru dipugar, dindingnya masih beraroma cat, kursi-kursi tersusun, papan tulis baru terpasang. Fasilitasnya sederhana, tetapi cukup untuk memulai kembali perkuliahan tatap muka.
Hanya lima ruang kelas melayani lebih dari 3.500 mahasiswa tahun pertama. Setelah dua tahun kehilangan akses pendidikan, mereka kembali menapaki dunia kampus melalui sejumlah program sains dan kesehatan yang mulai dibuka.
Di sela tenda-tenda pengungsian yang menutupi kampus, mata para mahasiswa terlihat berbinar, seolah menemukan celah terakhir untuk kembali bernapas. Buku-buku mereka digenggam erat, seakan lembar-lembar itu bisa menyatukan kembali hidup yang sempat tercerai berai oleh perang.
Pendidikan sebagai Ruang Pemulihan
Basmah Khaled, salah satu mahasiswa baru, berjalan memasuki kampus ditemani ayahnya yang menggenggam tangannya erat. Ia tampak gugup, seperti anak kecil di hari pertama sekolah. Namun ini lebih dari sekadar awal tahun akademik, ini hari pertama kehidupannya tanpa ibu dan dua saudaranya, yang gugur akibat serangan di Jabalia.
Perjalanan dari Jabalia ke kampus di Gaza barat memakan waktu lebih dari satu jam. Basmah harus berjalan jauh sebelum menemukan kendaraan yang bisa mengantarnya. Baginya, perkuliahan adalah pintu pemulihan yang masih terbuka. “Mungkin ini satu-satunya cara untuk selamat dari kekosongan dan mimpi buruk,” ujarnya. Ia memilih jurusan keperawatan, cita-cita ibunya yang syahidah.
