Ulama dan Penjara
Ilustrasi
Namun ada beberapa penguasa yang tidak hanya menahan jasad, tetapi menambahnya dengan kezhaliman, pemukulan, dan siksaan yang pedih seperti yang terjadi pada diri Ahmad bin Hambal dan sebagainya. Dipenjara akalnya berarti tidak diperkenankan untuk membaca dan menulis. Mereka dibelenggu dengan besi dan rantai, atau dipukul hingga lumpuh dan berdarah.
Kita dapati, orang-orang yang mendekam di dalam penjara para penguasa dapat menulis buku-buku dan pemikiran yang canggih. Dalam keadaan sempit dan tertekan, mereka justru dapat menulis buku-buku yang berkualitas tinggi. Di samping itu, jiwa mereka bertambah bersih dan mulia dalam menghadap ke hadirat Allah serta bertambah baik ibadahnya.
Dengan demikian penjara penguasa, bagi ulama adalah nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepada mereka. Walaupun mereka tidak bisa melakukan kegiatan ini dan itu, tetapi mereka bisa berdzikir kepada Allah dalam diri mereka dengan tenang dan khusyu’, hati mereka membaca istighfar menghadap kepada Allah untuk meminta ampunan dan keridhaan-Nya. Itulah kebaikan tertinggi yang tidak pernah dicapai oleh kebanyakan umat manusia.
Seorang fakih dan pembesar ulama dari madzhab Hanafi bernama As-Sarkhasi ketika dipenjara dia bisa menyelesaikan buku fikihnya yang terdiri dari 30 jilid di Penjara Bauzjan.
Dia dipenjara karena kalimatnya yang menyinggung perasaan Khaqan ketika menasihatinya. Dia menulis buku itu, karena kecerdasannya, tanpa melihat buku apapun, ketika dia berada di dalam penjara dan murid-muridnya di penjara bagian atas. Setelah selesai menjelaskan tentang masalah ibadah, dia berkata, “Ini adalah penjelasan terakhir tentang masalah ibadah, dengan penjelasan yang jelas dan ringkas, yang ditulis oleh seseorang yang terpenjara dari perkumpulan dan jamaah. Di akhir penjelasannya tentang masalah pengakuan, “Selesailah sudah penjelasan tentang masalah pengakuan yang dijelaskan secara lengkap, yang ditulis oleh seseorang yang terpenjara di istana orang-orang jahat.”
Dia juga mempunyai kitab tentang ‘Ushulul Fiqh’ dan kitab Syarh As-Sair Al-Kabir, yang ditulisnya ketika dia berada di penjara. Ketika sampai pada bab Asy-Syuruth, dia dibebaskan.”
Demikian pula Ibnu Taimiyah. Ketika dia berada di penjara yang menyebabkannya meninggal, dia menghabiskan waktunya untuk beribadah, membaca, menulis buku, menyanggah orang-orang sesat, menulis tafsir Al-Qur’an dalam edisi besar dan isinya sangat baik. Karena itu buku-bukunya menjadi terkenal sehingga penguasa melarangnya untuk menulis dan membaca, buku-bukunya dirampas, hingga akhirnya beliau terpaksa menulis di balik kayu dengan arang.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah ketika dipenjara bersama Ibnu Taimiyah berkata, “Syaikhul Islam pernah berkata kepadaku, orang terpenjara adalah orang yang dipenjara hatinya dari Tuhannya dan orang tertawan adalah orang yang menawan hawa nafsunya.” Saya juga mendengar dia berkata di dalam sujudnya ketika dipenjara, “Ya Allah tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan baik.”
Begitu pula Imam fakih, Ibnu Rusyd, ketika dipenjara dia tidak dilarang untuk menulis. Pada saat itu usianya sudah sangat lanjut tetapi dia dapat menulis sebuah buku yang terkenal dengan judul Al-Manthiq.”
Ibnu Qutaibah ketika berselisih pendapat dengan pengikut Ahmad bin Thulun tentang wilayatul ‘ahdi, maka dia dipenjarakan di rumah yang disewakan untuknya. Di rumah itu ada jendela yang di tempat itu dia duduk dan berbicara kepada murid-muridnya, yang menulis pendapat-pendapatnya. Sementara dia dipenjara.”
