Toleransi pada Masyarakat Multikultural

Oleh:
Dr. KH. Zakky Mubarak, MA
Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta, tidak hanya mengajarkan toleransi antara umat beragama, tapi juga membangun toleransi dalam masyarakat yang lebih luas yang disebut multikultural. Masyarakat seperti ini merupakan kenyataan yang dijumpai setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat terdiri dari berbagai ras, bangsa, agama, suku, kepercayaan, adat istiadat, budaya, peradaban, dan latar belakang kehidupan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Kehidupan yang digambarkan di atas merupakan hal yang lumrah dalam masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural, sosio geografis yang sangat beragam dan luas. Pada saat ini, jumlah pulau yang ada di Indonesia mencapai sekitar 13 ribu pulau, besar dan kecil. Jumlah penduduknya 284 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan lebih kurang 200 bahasa yang berbeda.
Penduduk Indonesia menganut berbagai agama dan kepercayaan yang berbeda-beda seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, dan berbagai macam aliran yang bersifat lokal. Itu semua hanya merupakan salah satu wajah dari sekian banyak wajah multikultural. Lebih detail lagi, apabila ditinjau dari cara pandang, tindakan, dan wawasan setiap individu atau kelompok yang ada terhadap berbagai macam fenomena sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Seperti itulah kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia, apabila dikembangkan lebih jauh ke masyarakat dunia, maka perbedaan dan persamaan antar kelompok semakin besar dan semakin banyak. Masyarakat multikultural yang bersifat global, merupakan suatu kenyataan yang dihadapi seluruh bangsa di dunia. Kajian ini akan menyajikan bagaimana pandangan Islam menghadapi kenyataan tersebut.
Sebagai agama yang menebarkan kedamaian, Islam mengarahkan semua umat manusia agar mengembangkan toleransi atau tasamuh dalam menyikapi perbedaan dan perselisihan di tengah kehidupan manusia. Sikap toleransi atau tasamuh yang bersifat global itu, dirumuskan dalam konsep Islam yang berkaitan toleransi dalam kemajemukan, membangun toleransi masyarakat multikultural, mengembangkan ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, ukhuwah insaniah, dan hubungan sesama makhluk.
Toleransi dipahami secara sederhana, berarti bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri. (KBBI, 1999:106).
Secara ringkas, toleransi berarti sikap seseorang yang merasa tidak keberatan dengan perbedaan-perbedaan orang lain yang tidak sesuai dengan keyakinan dan pendapatnya sendiri. Istilah toleransi dalam bahasa Indonesia disebut dengan kata tasamuh, berasal dari bahasa Arab artinya sikap yang baik dan berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan dengan orang lain yang tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya. (Ibnu Mandzur, 1992:489).
Secara realitas, manusia diciptakan dalam berbagai ras, bangsa, suku, golongan, bahasa, warna kulit, kebudayaan, dan agama yang berbeda. Menghadapi kenyataan ini, maka setiap orang harus bersikap toleran atau tasamuh, sebagai salah satu bukti dari perwujudan akhlak dan budi pekerti. Setiap individu manusia, harus berlapang dada dan memahami dengan baik segala perbedaan yang dijumpai. Dengan demikian, setiap individu berhak meyakini agama, falsafah hidup, adat istiadatnya sendiri, dan tidak merasa keberatan dengan apa yang diyakini oleh orang lain.
Dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, banyak ditegaskan tentang keharusan bertoleransi sebagaimana disebutkan di atas, antara lain:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat, 13).
Mengenai larangan saling mencela terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain disebutkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekelompok orang laki-laki menghina kelompok yang lain, boleh jadi yang dihina itu lebih baik dari yang menghina. Dan jangan pula sekelompok perempuan merendahkan kelompok lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik (dari yang merendahkan). Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Hujurat, 11).
Larangan saling mencela terhadap masing-masing keyakinan dan agama disebutkan dalam al-Qur’an:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-An’am, 108).
Toleransi dalam masyarakat multikultural tersebut akan terwujud apabila umat manusia sudah menegakkan tentang persamaan hak, satu dengan yang lainnya tanpa membedakan ras, bangsa, suku, nasab, keturunan, dan asal usul mereka, sesuai dengan pesan Rasulullah s.a.w. saat melaksakana haji terakhir.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab (Ajam), dan tidak ada kelebihan bangsa lain (Ajam) terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (putih) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan taqwanya”. (HR. Ahmad, 22978).*