Sirah Nabawiyah di Tengah Krisis Identitas Muslimah
Ilustrasi
Di tengah gegap gempita modernitas, perempuan Muslim hari ini tidak sedang mengalami krisis kemampuan, melainkan krisis identitas. Mereka terdidik, cakap, dan aktif di ruang publik, namun banyak yang kehilangan arah tentang siapa dirinya, untuk apa perannya, dan ke mana tujuan hidupnya. Inilah krisis yang sunyi namun sistemik yaitu krisis paradigma.
Modernitas menawarkan kebebasan, kesetaraan, dan pencapaian individual sebagai ukuran nilai perempuan. Feminisme sekuler kemudian memperkuat narasi tersebut dengan menafikan fitrah, merelatifkan peran keibuan, dan menjadikan kebebasan absolut sebagai simbol kemerdekaan. Akibatnya, banyak Muslimah terjebak dalam konflik batin yaitu antara tuntutan budaya modern dan suara fitrah yang mendambakan ketenangan, makna, dan keberkahan.
Ironisnya, krisis ini kerap dibaca secara keliru. Ketika perempuan gelisah, lelah, dan terasing dari dirinya sendiri, solusi yang ditawarkan justru berupa pelatihan keterampilan, penguatan karier, atau afirmasi psikologis semata. Padahal, akar masalahnya bukan terletak pada skill, melainkan pada hilangnya pijakan nilai.
Dalam perspektif Islam, identitas bukan hasil konstruksi sosial, melainkan konsekuensi logis dari aqidah. Seorang Muslimah memahami dirinya sebagai hamba Allah, penjaga amanah kehidupan, dan bagian penting dari peradaban. Aqidah inilah yang membentuk cara berpikir, bersikap, dan menentukan orientasi hidup. Ketika aqidah tidak lagi menjadi pusat pembinaan, identitas pun mudah terombang-ambing oleh arus kapitalisme, media digital, dan feminisme liberal.
Di sinilah sirah Nabawiyah menawarkan jawaban yang sering dilupakan. Sirah bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi peta peradaban. Melalui sirah, kita menyaksikan bagaimana Rasulullah Saw membina para shahabiyah menjadi perempuan beriman yang utuh: kuat aqidahnya, mulia akhlaknya, kokoh peran keluarganya, dan produktif kontribusinya di tengah masyarakat.
Khadijah binti Khuwailid bukan hanya istri Nabi, tetapi penopang dakwah. Aisyah radhiyallahu ‘anha bukan sekadar istri muda, tetapi guru peradaban. Nusaibah binti Ka‘ab hadir di medan jihad dengan keberanian dan kehormatan. Asma’ binti Abu Bakar mengajarkan keteguhan dan kecerdikan di masa krisis. Mereka tidak kehilangan identitas saat berkontribusi di ruang publik, justru identitas itulah yang menguatkan kontribusinya.
Sirah juga menegaskan bahwa peran keibuan dan keluarga bukan beban, melainkan pusat pembentukan peradaban. Islam tidak memandang ranah domestik sebagai wilayah inferior, tetapi sebagai fondasi lahirnya generasi beriman. Ketika peran ini diremehkan oleh narasi modern, yang runtuh sejatinya bukan hanya keluarga, tetapi masa depan umat.
Oleh karena itu, pemulihan identitas Muslimah tidak cukup dengan slogan pemberdayaan. Ia menuntut rekonstruksi paradigma. Pembinaan perempuan harus kembali diarahkan pada aqidah sebagai fondasi, sirah sebagai metode, shahabiyah sebagai model, dan fitrah sebagai orientasi. Di saat yang sama, Muslimah juga perlu dibekali literasi ideologis agar mampu membaca dan mengkritisi arus feminisme, media digital, dan modernitas yang sering kali datang dengan kemasan emansipasi semu.
Perempuan dalam Islam tidak dipenjara di rumah, tetapi juga tidak dilarutkan dalam kebebasan tanpa batas. Islam mengintegrasikan peran domestik dan publik secara seimbang, bermartabat, dan berorientasi akhirat. Inilah keseimbangan yang hilang dalam wacana modern.
Krisis identitas Muslimah sejatinya adalah cermin krisis peradaban. Ketika perempuan kehilangan jati diri, peradaban pun rapuh. Sebaliknya, ketika perempuan kembali kepada fitrahnya, peradaban memiliki harapan untuk bangkit. Sirah Nabawiyah telah menunjukkan jalannya. Tinggal keberanian kita hari ini untuk kembali menapakinya. Wallahu a’lam bishowab.
Selvi Sri Wahyuni, M.Pd
