Sejarah Singkat Etnis Muslim Rohingya di Myanmar

Pengungsi muslim Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh.
Sayangnya, meski tidak banyak, etnis Muslim Rohingya yang berada di Indonesia ini mendapatkan stigma negatif.
“Rohingya jorok”, “Rohingya minta tanah”, “Rohingya membebani negara”, adalah di antara sentimen negatif tentang pengungsi Rohingya yang banyak beredar di media sosial. Diduga penyebaran disinformasi mengenai etnis Muslim Rohingya di media sosial ini dilakukan secara terorganisir.
Sebagai sesama muslim, tidak selayaknya umat Islam Indonesia menggambarkan dan memperlakukan para pengungsi Rohingya dengan tidak baik.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw, “Orang muslim adalah saudara bagi saudaranya yang lain, tidak berbuat zalim kepadanya dan tidak menghinakannya. Barang siapa peduli pada kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa menghilangkan kesusahan seorang muslim, maka Alloh akan menghilangkan kesusahannya pada hari kiamat kelak. Dan barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Alloh akan menutup aibnya pada hari kiamat kelak.”
Sejarah Muslim Rohingya
Jika ditelusuri, nenek moyang etnis Rohingya berasal dari orang Arab, Moor, Pathan, Moghul, Bengali, dan beberapa orang Indo-Mongoloid. Permukiman Muslim di Arakan telah ada sejak abad ke-7 Masehi.
Sejarah mencatat suku Rohingya mendiami wilayah Rakhine (perbatasan Bangladesh dan Myanmar saat ini) pada abad ke-7. Catatan sejarah tidak menjelaskan adanya konflik etnis selama awal kedatangan imigran Rohingya.
Pada 1785, Kerajaan Birma (sekarang Myanmar) melakukan invasi militer ke wilayah Rakhine dan berhasil menguasainya. Sayangnya, mereka tidak mau mengakui keberadaan etnis Rohingya.
Hal ini ada perubahan ketika Inggris melakukan kolonialisasi pada 1826. Pemerintah Kolonial Inggris memindahkan beberapa etnis Rohingya ke wilayah Birma. Hal ini dikarenakan untuk membantu peningkatan produksi pertanian karena wilayah Birma cocok untuk pertanian.
Pada awal Abad ke-19, gelombang imigrasi kaum Rohingya ke Birma semakin besar, tidak jarang terjadi bentrokan dengan penduduk asli Birma yang beragama Budha. Namun, pada saat itu Pemerintah Inggris mampu untuk meredam konflik etnis di sana. Sayangnya, kondisi ini diperparah ketika Jepang melakukan invasi militer ke Birma pada era Perang Dunia II, Inggris terpaksa angkat kaki dari Birma.