Sampaikan Walau Satu Ayat

Oleh:
KH Bachtiar Nasir
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Abdullah bin ‘Amru meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat. Sampaikan kabar dari Bani Israil, dan tidak perlu merasa berat. Siapa yang berdusta atas namaku, hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka.” (Riwayat Bukhari).
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu hajar menjelaskan bahwa di dalam hadits ini disebutkan ‘walaupun satu ayat’ agar setiap orang yang mendengar bersegera menyampaikan ayat yang didengarnya. Meskipun sedikit agar semua yang disampaikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dapat disampaikan dan disebarkan kepada seluruh umat manusia.
Tabligh atau menyampaikan kepada orang lain apa yang datang dari Rasulullah SAW itu dapat dibagi menjadi dua. Pertama, menyampaikan ayat Alquran atau hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam apa adanya, tanpa disertai pemahaman dari dirinya sendiri. Hal ini hanya memerlukan orang yang kuat hafalannya dan tidak pernah berbohong serta memiliki sikap ‘adalah (orang yang menjauhi dosa besar, dosa kecil dan hal-hal yang dapat merusak dan mengurangi kehormatan dirinya) sebagaimana yang menjadi syarat seorang perawi hadits yang tsiqah (dapat dipercaya).
Dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dijelaskan:
عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَضَّرَ اللَّهُ عَبْدًا سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا ، ثُمَّ بَلَّغَهَا عَنِّي ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرِ فَقِيهٍ ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
Dari Anas bin Malik ra. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Allah membaguskan wajah seorang hamba yang telah mendengar perkataanku dan menghafalnya kemudian menyampaikannya, barangkali penghafalnya tidak faqih (tidak paham) dan barangkali orang yang menghafalnya menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Kedua, dalam bentuk menyampaikan dan menjelaskan tentang tafsir dan pemahaman akan ayat-ayat al-Qur`an maupun hadits Nabi SAW atau bahkan berfatwa menjelaskan hukum Allah SWT dalam suatu masalah. Tabligh dalam bentuk ini tentu membutuhkan kemampuan dan ilmu yang cukup agar nanti tidak sesat dan menyesatkan umat sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Nabi SAW.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا ، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Dari Abdullah bin ‘Amru bin al-Ash, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan mengangkatnya dari hati para hamba, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah tidak menyisakan seorang alim pun maka kemudian manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin-pemimpin mereka. Ketika orang-orang bodoh tersebut ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, maka mereka pun sesat dan menyesatkan.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, ini lafadz Bukhari).
Bahkan dalam Alquran, Allah menegaskan bahwa tidak seharusnya semua umat Islam ikut berperang sehingga tidak ada yang khusus menuntut ilmu agama agar dapat memberi peringatan kepada umatnya setelah mendalami ilmu tersebut. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Surat At-Taubah [9]: 122).
Dalam ayat lain, Allah SWT menegaskan:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـٰذَا حَلَالٌ وَهَـٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّـهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّـهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Surat An-Nahl [16]: 116).
Tetapi, itu tidak berarti bahwa seseorang baru boleh berdakwah setelah menguasai semua ilmu Islam atau menjadi seorang ulama besar. Yang terpenting adalah dia menguasai dan memahami betul apa yang hendak disampaikannya agar jangan sampai ia menjadi penyebab sesatnya umat dari ajaran dan agama Allah SWT. Dan untuk memahami dan menguasai suatu masalah yang hendak disampaikan atau diterangkan kepada orang banyak tentu tidak cukup hanya dengan hafal satu atau dua ayat Alquran atau hafal dua atau tiga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena biasanya satu ayat atau hadits itu berkaitan dengan ayat dan hadits yang lainnya.
Dalam penjelasannya terhadap kitab Riyadh al-Shalihin tentang hadits di atas, Syaikh ‘Utsaimin mengatakan bahwa hadits ini ini menegaskan bahwa seseorang itu hendaklah tidak mengatakan bahwa ia tidak akan berdakwah kecuali setelah menjadi ulama besar. Tetapi hendaklah ia berdakwah dan menyampaikan meskipun satu ayat dengan syarat ia memahami betul ayat atau hadits itu dan mengetahui bahwa hadits itu benar dari Rasulullah SAW. Karena pada akhir hadits ini ada ancaman bagi mereka yang sengaja berbohong atas nama Nabi SAW, yaitu dengan menyampaikan sesuatu yang sebenarnya bukan dari Nabi SAW, tapi ia mengatakan bahwa itu adalah hadits Nabi SAW.
Jika hanya sekadar menyampaikan ayat Alquran, hadits Nabi SAW atau perkataan dan ceramah para ulama apa adanya, maka tidak dibutuhkan ilmu dan pemahaman yang mendalam terhadap masalah yang hendak disampaikan. Tetapi, jika kita ingin berdakwah dan menyampaikan ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi SAW berserta penjelasan dan pemahamannya, maka kita terlebih dulu perlu memahami dan mendalami masalah, ayat atau hadits Nabi SAW yang ingin kita jelaskan kepada orang banyak agar kita tidak tersesat dan menyesatkan. Wallahu a’lam bish shawab.*