Sains, Agama dan Humanisme: Warisan Pemikiran Gus Dur untuk Pendidikan Modern

 Sains, Agama dan Humanisme: Warisan Pemikiran Gus Dur untuk Pendidikan Modern

KH Abdurrahman Wahid [foto: kompas.com]

DI TENGAH cepatnya perkembangan teknologi dan perubahan sosial, dalam dunia pendidikan menghadapi tantangan besar. Salah satunya dalam menyeimbangkan pencapaian intelektual dengan pembentukan karakter manusia. Banyak sekolah yang sibuk mengejar kemajuan ilmu pengetahuan, namun nilai-nilai moral, empati dan humanisme sering terabaikan.

Dalam hal inilah pemikiran Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan Gus Dur memberikan perspektif penting tentang bagaimana sains dan agama seharusnya saling mendukung, bukan saling meniadakan.

Gus Dur adalah pemikir yang percaya bahwa sains dan agama bukan musuh, melainkan mitra dalam membangun manusia yang lebih baik. Gus Dur tidak pernah memisahkan agama dari kemanusiaan.

Dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2006), beliau mengatakan tujuan agama bukan sekadar ritual atau dogma, melainkan memanusiakan manusia. Agama yang tidak menghadirkan kemanusaiaan hanyalah kulit tanpa isi. Pandangan Gus Dur ini menghadirkan pesan kuat, ilmu apapun (sains, teknologi, ekonomi maupun agama harus berujung pada kesejahteraan manusia.

Dalam Pendidikan modern, kita tidak hanya bertugas mencetak siswa yang bisa menghitung atau menganalisis (akademik), tetapi juga perlu menanamkan kepedulian soisal, tanggung jawab, dan kejujuran. Sains atau ilmu pengetahuan dapat menjelaskan hukum alam, tetapi agama membantu manusia menggunakan pengetahuan itu secara etis.

Gus Dur mengingatkan ketika sains kehilangan nilai moral, ia dapat berubah menjadi ancaman. Kita bisa melihat contohnya dalam penyalahgunaan teknologi, peretasan data, penyebaran hoaks lewat AI sampai eksploitasi lingkungan.

Begitupun sebaliknya, agama yang menolak perkembangan sains justru kehilangan relevansi. Gus Dur memandang agama sebagai ruang dialog, bukan sebagai tembok pembatas. Sikap beliau yang inklusif dan adaptif memang menekankan pentingnya keterbukaan terhadap penemuan ilmiah, perkembangan budaya, dan perubahan sosial agar agama tetap memberikan panduan moral tanpa menutup diri dari pengetahuan baru. Pendidikan agama, dalam pandangan ini, tidak boleh berhenti pada hafalan doktrin, tetapi perlu memberi ruang bagi pertanyaan kritis dan keterbukaan rasional.

Pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi islam atau cara mengajarkan agama disesuaikan dengan konteks sosial Indonesia dapat menjadi model integrasi sains dan agama. Prinsip ini mengajarkan bahwa pengetahuan harus relevan dengan kehidupan masyarakat. Teknologi dari luar tidak akan berdampak besar jika hilang dari nilai kemanusiaan lokal. Begitu juga sains yang diajarkan di sekolah harus disandingkan dengan nilai spiritual yang membentuk karakter bangsa.

Kita dapat melihat relevansi pemikiran ini dalam beberapa isu pendidikan saat ini. Misalnya, meningkatnya kasus perundungan di sekolah menunjukkan bahwa kemampuan kognitif siswa tidak selalu sejalan dengan kematangan emosional.

Sementara itu, penggunaan gadget tanpa pendampingan nilai moral dapat menimbulkan kecanduan digital. Hal yang sama terjadi pada perlombaan akademik yang membuat siswa merasa bahwa nilai ujian lebih penting daripada karakter atau kejujuran. Dalam situasi ini integrasi nilai kemanusiaan sangat dibutuhkan, pembelajaran sains perlu membuka ruang refleksi moral, sementara pembelajaran agama perlu memberi ruang dialog.

Warisan Gus Dur memberikan arah: pendidikan modern harus menempatkan kemanusiaan sebagai inti. Sains dapat menjadi jembatan untuk memahami dunia, tetapi agama menjadi kompas moral untuk menentukan tujuan. Integrasi keduanya tidak perlu dilakukan dengan mencampuradukkan ajaran agama dengan teori ilmiah, melainkan dengan menempatkan keduanya pada perannya masing-masing. Sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, agama menjawab “mengapa”. Keduanya bertemu dalam upaya membangun kehidupan yang lebih baik.

Jika pendidikan mampu menggabungkan ketajaman berpikir ilmiah dengan kedalaman nilai spiritual, pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan hanya menghasilkan individu yang kompeten secara teknis, tetapi juga manusia yang bertanggung jawab, toleran, dan peduli.

Gus Dur pernah menegaskan bahwa manusia Indonesia harus “beragama secara cerdas dan berilmu dengan beradab”. Dalam era banjir informasi dan kemajuan teknologi yang begitu cepat, pesan ini semakin relevan. Integrasi sains, agama, dan kemanusiaan bukan hanya pilihan, tetapi kebutuhan bagi masa depan pendidikan kita. Jika kita mampu mewujudkannya, kita tidak sekadar mencetak generasi yang pintar, tetapi juga generasi yang mampu menjaga martabat dan masa depan manusia.[]

Naela Noviatul Izza, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jateng.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 − 5 =