Rusia Larang LGBT, Bagaimana Indonesia?

 Rusia Larang LGBT, Bagaimana Indonesia?

Tolak LGBT

LGBT disinyalir sebagai gerakan global dengan dukungan dana yang besar, serta adanya campur tangan asing didalamnya. Peningkatan jumlah serta legalitasnya dapat diterima jika komunitas ini meraih penerimaan politik.

Amerika Serikat sebagai negara pertama dalam perpolitikan internasional, sekaligus biangnya kapitalis, telah melegalkan pernikahan sejenis di seluruh negara bagian AS pada 27 Juni 2015. Menyusul kebijakan serupa di dua puluhan negara lainnya. Hingga sekarang hendak merambah ke negeri-negeri muslim.

UNDP dan USAID menggelontorkan dana sebesar US$ 8 milion alias 108 miliar rupiah melalui program normalisasi bernama “Being LGBT in Asia.”

Program telah berjalan di Cina, Filipina, Thailand dan Indonesia selama tiga tahun (Desember 2014-September 2017). Selain Kaum LGBT menggunakan instrumen PBB dalam memuluskan perjuangan mereka.

Tahun 2006 untuk pertama kalinya, tanggal 17 Mei ditetapkan sebagai IDAHO (International Day Against Homophobia) yaitu kampanye dunia dalam rangka mengakhiri kriminalisasi hubungan sesama jenis.

Momentum tanggal ini didasarkan pada tanggal dihapusnya homoseksual sebagai klasifikasi penyakit oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1990. Dan Departemen Kesehatan RI pun lantas mengadopsinya dalam Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGI) III tahun 1993.

Direktur Indonesia Justice Monitor, Agung Wisnuwardhana, mengutip penjelasan mantan Menhan Ryamizard Ryacudu bahwa gerakan hak-hak LGBT di Indonesia merupakan taktik perang modern atau proxy war dari negara-negara Barat untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer.

Taktik perang modern (nirmiliter) adalah cara Barat menerapkan bentuk penjajahan gaya baru, dari dominasi militer menjadi dominasi politik, ekonomi dan budaya. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab “Mafahim Siyasi” menyebutkan hal ini sebagai perkembangan cara penjajahan untuk menyebarkan kapitalisme. Dalam konteks ini, Barat telah menggunakan isu HAM untuk menarasikan hak-hak LGBT di kawasan Asia.

Indonesia Harus Merenung

Di Indonesia, penolakan datang dari berbagai elemen, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas menyatakan, pihaknya menolak dengan tegas rencana kunjungan itu. Sedangkan Kementerian Luar Negeri RI menolak berkomentar perihal ini, namun memberikan analogi yang mengarah ke perbedaan budaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 2 =