Renungan Khotbah Wada’ Rasulullah Saw
Ilustrasi: Jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafah.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa kaum musyrikin pada waktu itu mengira bahwa satu tahun itu terdiri atas 12 bulan dan 15 hari, sehingga mereka melakukan ibadah haji pada bulan Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’idah, dan di bulan apa saja karena mengikuti peredaran bulan dengan tambahan 15 hari tersebut setiap tahunnya.
Ibadah haji yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah pada tahun ke-9 Hijriah, jatuh pada bulan Dzulqa’idah disebabkan perhitungan tahun yang dibuat oleh orang-orang Arab Jahiliah tersebut. Karena itu, pada tahun berikutnya (tahun di mana Rasulullah Saw melakukan Haji Wada’), haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah pada tanggal 10 tepat dengan bulan-bulan ditetapkannya ibada haji.
Pada saat itu pula, Rasulullah Saw mengumumkan dihapuskannya hisab lama dan bahwa satu tahun setelah hari ini hanya terdiri atas 12 bulan. Setelah hari ini, tidak ada tambahan lagi.
Al-Qurthubi berkata bahwa pernyataan ini sama dengan sabda Nabi Saw, “Sesungguhnya, zaman telah berputar…..” yakni sesungguhnya waktu ibadah haji telah kembali kepada waktunya yang asal yang telah ditetapkan oleh Allah ketika menciptakan langit dan bumi yaitu asal pensyariatan yang telah diketahui Allah sebelumnya.
Tema keempat dari khotbah beliau yaitu wasiat agar berlaku baik terhadap kaum wanita. Wasiat ini, yang ditegaskan dalam kalimat yang singkat, tapi padat, menghapuskan segala bentuk penganiayaan terhadap kaum wanita dan memperkokoh jaminan hak-hak asasinya dan kehormatannya sebagai manusia.
Masalah ini memang perlu ditegaskan dalam taushiah seperti ini karena kaum Muslimin pada saat itu masih sangat dekat periode mereka dengan tradisi-tradisi jahiliah yang mengabaikan wanita dan tidak memberikan hak sama sekali kepadanya. Barangkali ada hikmah lain dari taushiah dan perhatian ini, di antaranya agar kaum Muslimin di setiap zaman dan tempat senantiasa menyadari tentang perbedaan besar antara kehormatan wanita serta hak-haknya yang telah dijamin oleh Islam dan apa yang telah menjadi sasaran sebagian orang yang menghalalkan segala cara untuk menikmati dan mempermainkan kaum wanita.
Tema kelima dari khotbah beliau yaitu Nabi Saw meletakkan semua problematika manusia di hadapan dua sumber nilai. Siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka dijamin akan terhindar dari segala kesengsaraan dan kesesatan.
Kedua sumber nilai ini adalah Kitabullah al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
Jaminan ini tidak hanya berlaku bagi para sahabatnya, tetapi juga bagi generasi yang datang sesudahnya. Hal ini ditegaskan oleh Nabi Saw agar manusia menyadari bahwa berpegang teguh kepada kedua sumber tersebut bukan hanya diwajibkan pada generasi tertentu atau zaman tertentu. Selain itu, agar manusia menyadari bahwa perkembangan peradaban atau kemajuan zaman apa pun dan bagaimanapun tidak boleh mengalahkan atau menentang kedua sumber nilai kehidupan tersebut.
Tema keenam dari khotbah beliau ialah penjelasan Nabi Saw tentang hubungan yang seharusnya dibina antara seorang hakim (penguasa) atau khalifah atau kepala negara dan rakyatnya. la adalah hubungan ketaatan dari rakyat terhadap pimpinannya betapapun keturunan, warna kulit, dan bentuk lahiriahnya selama dia tetap menjalankan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
Akan tetapi, apabila dia menyimpang dari keduanya, tidak ada kewajiban untuk taat kepadanya. Penguasa itu mempunyai hak untuk ditaati hanya karena ia menjalankan Al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga tidak ada masalah setelah itu sekalipun ia seorang budak dari Ethiopia yang berambut keriting dan berhidung gruwung karena semua bentuk lahiriah itu tidak merendahkan derajatnya sediki pun di sisi Allah. Dengan demikian, Rasulullah Saw telah menjelaskan kepada kita bahwa seorang hakim (penguasa) tidak memiliki “keistimewaan” apa pun di hadapan hukum-hukum Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Kedaulatannya tidak akan dapat meletakkannya di atas manhaj dan hukum Islam karena pada hakikatnya ia bukan penguasa dan tidak memiliki kedaulatan apa pun. la hanyalah seseorang yang diberi kepercayaan oleh kaum Muslimin untuk menjalankan hukum Allah. Karena itu, syariat Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan “kekebalan hukum” atau “hak istimewa” bagi pihak tertentu di kalangan kaum Muslimin dalam masalah-masalah hukum, undang-undang, atau peradilan.
