Refleksi Ziarah ke Makam Sunan Bayat

 Refleksi Ziarah ke Makam Sunan Bayat

Oleh:

Sofia Nofita Sari || Mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta

 

PERJALANAN ziarah ke makam Sunan Bayat menjadi pengalaman yang tidak hanya berkesan secara spiritual, tetapi juga memberikan pemahaman lebih dalam tentang sejarah penyebaran Islam di wilayah selatan Jawa, khususnya di daerah Bayat, Klaten. Ziarah ini saya lakukan bukan sekadar bentuk kunjungan religi, melainkan juga sebagai bentuk riset kecil untuk memahami bagaimana warisan budaya Islam Jawa tetap hidup di tengah masyarakat hingga kini.

Bayat terletak di selatan Kabupaten Klaten, di antara perbukitan kapur yang menghubungkan daerah Jawa Tengah dengan Gunung Kidul. Perjalanan menuju kompleks makam ditempuh sekitar satu jam. Jalan yang berkelok dan menanjak membawa suasana tenang dan sejuk, seolah mengantar peziarah menapaki perjalanan batin. Dari area parkir, pengunjung harus menaiki 152 anak tangga untuk mencapai kawasan makam. Tangga – tangga itu menanjak diapit pepohonan rindang dan warung-warung kecil, menambah kesan teduh sekaligus hangat khas pedesaan Jawa.

Sunan Bayat dikenal juga dengan nama Sunan Pandanaran, yang diyakini merupakan Bupati Semarang pada masa awal Kesultanan Demak, bernama Tumenggung Pandanaran. Menurut kisah yang berkembang, beliau meninggalkan jabatannya setelah mendapat bimbingan dari Sunan Kalijaga untuk menempuh jalan spiritual. Perjalanan itu akhirnya membawanya ke Bayat, tempat beliau menetap dan menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan sufistik yang lembut, hingga wafat dan dimakamkan di sana.

Beberapa literatur seperti “Wali Berandal Tanah Jawa” karya George Quinn, menyebut bahwa makam Sunan Bayat merupakan salah satu situs penting dalam jaringan spiritual para wali di Jawa. Quinn sendiri tercatat telah enam kali berziarah ke berbagai makam wali, termasuk ke Bayat, dan menggambarkannya dengan gaya naratif yang kaya akan pengamatan sosial dan budaya, menggambarkan ziarah bukan sekadar ritual, tetapi pengalaman spiritual yang menyentuh dimensi batin peziarah.

Kompleks makam Sunan Bayat terdiri atas beberapa halaman yang dipisahkan oleh lima gapura batu putih. Setelah melewati gapura kelima, barulah pengunjung memasuki area inti makam. Arsitekturnya mencerminkan perpaduan budaya Ngaksintoro atau Mataram Islam bagian selatan, di mana elemen Islam berpadu dengan gaya arsitektur tradisional Jawa. Menariknya, pada beberapa batu nisan terdapat simbol bulan, penanda status ulama atau kiai pada masa itu. Unsur ini menunjukkan bagaimana Islam di Jawa berbaur dengan simbolisme lokal tanpa kehilangan makna spiritualnya.

Selain makam utama Sunan Bayat, di sekitar kompleks juga terdapat makam dengan ukiran kepala ikan tiga, yang merupakan ciri khas dari ajaran Islam Sufistik tarekat Satoriyah, yaitu sebuah aliran yang menekankan penyatuan diri dengan kehendak Ilahi. Diarea sekitar juga terdapat makam panjang yang diyakini sebagai makam sepasang suami istri. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa pasangan yang berziarah sambil berdoa dengan sungguh-sungguh di sana akan dikaruniai keturunan. Kepercayaan ini memperlihatkan harmoni antara nilai Islam dan tradisi lokal yang masih hidup hingga kini.

Dalam tradisi lisan masyarakat Bayat, banyak kisah tentang karomah Sunan Bayat. Salah satunya tentang suara adzan di Masjid Bayat yang konon terdengar hingga Demak dan didengar langsung oleh Raden Patah. Cerita ini tentu tidak dimaksudkan secara harfiah, tetapi dimaknai sebagai simbol bahwa cahaya dakwah Sunan Bayat mampu menjangkau jauh ke pusat kekuasaan Islam di pesisir utara Jawa.

Selain kisah tersebut, masyarakat Bayat juga mengenal istilah spiritual, yaitu “Ngeksigondo” dan “Ngaksintoro” yang menggambarkan hubungan antara kekuatan lahir dan batin, antara utara (pusat politik Demak) dan selatan (pusat spiritual Mataram). Dalam konteks ini, Bayat menjadi wilayah penghubung antara dua kutub tersebut yaitu tempat pertemuan antara ajaran Islam yang rasional dan Islam yang sufistik.

 

Dakwah Pendidikan

Menariknya, di sekitar Bayat juga terdapat tempat bernama Jabal Kat, yaitu tempat para santri menuntut ilmu agama sekaligus belajar bela diri. Para santri dari berbagai daerah datang ke sana untuk memperdalam ilmu agama sekaligus mengasah kedisiplinan fisik dan mental. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Bayat tidak hanya melalui dakwah lisan, tetapi juga melalui pendidikan dan pembentukan karakter.

Melihat struktur makam dan tradisi ziarah yang terus berlangsung, tampak jelas bahwa ajaran tasawuf sangat berpengaruh di Bayat. Sunan Bayat dan generasi setelahnya, termasuk para Wali Abdal (sebutan bagi wali generasi kedua), melanjutkan tradisi Islam Sufistik yang mengutamakan penyucian hati, ketenangan batin, dan pengendalian diri. Unsur-unsur ini masih hidup dalam kebiasaan masyarakat yang berziarah dengan membaca tahlil, dzikir, dan doa bersama, bukan untuk meminta sesuatu, melainkan sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah.

Bayat juga hadir dalam konteks budaya populer masa kini. Dalam film Hati Suhita yang terkenal itu, tokoh Gus Biru digambarkan sebagai sosok santri yang memiliki kedalaman spiritual dan konflik batin yang kuat. Beberapa latar cerita film tersebut mengambil inspirasi dari wilayah Bayat, karena daerah ini memang dikenal sebagai tempat yang sarat nilai spiritual dan kearifan lokal. Hal ini menunjukkan bahwa citra Bayat sebagai pusat spiritual tidak hanya hidup dalam sejarah, tetapi juga masih menginspirasi karya-karya kontemporer.

Ziarah ke makam Sunan Bayat memberikan kesan mendalam bagi saya. 152 anak tangga yang saya lalui seolah melambangkan perjalanan rohani manusia menuju kesadaran yang lebih tinggi. Setibanya di puncak suasana hening dan tenteram menyelimuti. Tanpa perlu banyak kata, tempat itu mengajarkan makna kesederhanaan, ketulusan, dan pencarian makna hidup.

Dari perjalanan ini saya belajar bahwa agama tidak hanya tentang ibadah lahiriah, tetapi juga tentang pengendalian diri dan keikhlasan. Bayat mengingatkan bahwa sejarah Islam di Jawa bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan warisan hidup yang terus berdialog dengan zaman. Ziarah bukan hanya berarti mengunjungi makam orang saleh, tetapi juga menziarahi nilai-nilai yang mereka wariskan. Sunan Bayat mengajarkan bahwa kekuasaan sejati bukan terletak pada jabatan atau harta, melainkan pada kemampuan untuk meninggalkan keduanya demi kebenaran dan ketenangan batin.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − 13 =