Refleksi Kisah Ashabul Kahfi untuk Pemuda Hari Ini
Ilustrasi
Ia menyebut gua itu sebagai “madrasah iman”, tempat perenungan dan totalitas berserah diri kepada Allah. Ini menjadi pesan kuat untuk para pemuda saat ini: bahwa mempertahankan iman bukanlah kemunduran, tapi justru kemajuan ruhani yang hakiki.
Masyarakat sekarang sering menganggap ‘menyepi’ sebagai tanda kelemahan atau antisosial. Padahal, justru dalam sunyi kita belajar menguatkan batin, merapikan niat, dan menyambung kembali hubungan dengan Allah yang seringkali terputus oleh hiruk-pikuk dunia. Gua iman adalah bentuk hijrah hati. Seperti Ashabul Kahfi, kita tidak perlu merasa bersalah saat memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan orang, selama itu adalah jalan kebaikan.
Saatnya Menjadi Pemuda Bertauhid
Ashabul Kahfi bukan sekadar kisah heroik di masa lalu. Mereka adalah simbol kekuatan pemuda yang istiqamah di jalan Allah. Dalam era digital ini, kita mungkin tidak perlu masuk gua secara fisik, tapi kita bisa menciptakan “gua digital” untuk melindungi iman: membatasi konten negatif, memilih teman yang salih, dan terus memperkuat hubungan dengan Allah.
Kita tidak akan tertidur selama 309 tahun, tapi kita bisa saja tertidur dalam kelalaian dunia. Dan ketika bangun, semua sudah terlambat. Maka, jadilah Ashabul Kahfi masa kini: lebih baik sepi tapi Ilahi, daripada ramai tapi menjauh dari-Nya.
Kisah ini sangat kontekstual dengan kondisi pemuda hari ini. Menolak budaya pacaran, menutup aurat, atau memilih diam dari ghibah seringkali dianggap “berbeda” dan kuno. Padahal, perbedaan yang dibangun atas iman itulah yang membedakan pemuda Ashabul Kahfi dari generasi lainnya. “Ingatlah wahai diri, meskipun satu dunia melakukannya, yang haram tetaplah haram.” []
Intan Kusuma Rizki, Mahasiswi Universitas PTIQ Jakarta.
