Rapimwil PW PII Jabar Soroti Pergub Nomor 13 Tahun 2022

Bandung, Mediaislam.id– Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Jawa Barat periode 2023-2025 menggelar Rapat Pimpinan Wilayah (Rapimwil) pada 9-11 Mei 2024 di aula Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung, Jawa Barat.
Rapimwil bertem “Kolaborasi Pelajar Jawa Barat Menuju Pendidikan yang Inklusif untuk Mencetak Generasi Berkelanjutan dan Berdaya Saing Tinggi”. Pada Rapimwil tersebut, pimpinan daerah dan wilayah menyoroti Pergub No 13 tahun 2022 tentang peraturan pelaksana pelaturan daerah provinsi Jawa Barat No 3 tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan anak.
Lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi pelajar. Sebagi mana dalam UU No 20 tahun 2003 BAB III prinsip penyelenggaraan pendidikan Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi Hak asasi manusia, nilai ke Agamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Secara teknis, pelaksanaan Perda No 3 tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan anak itu di tangani oleh Tim Akselerasi Pembangunan Jabar dengan meluncurkan sebuah aplikasi yang dinamakan “Stopper” (sistem terintegrasi olah pengaduan perundungan) yang mana hanya terdapat empat komponen utama. Yakni, aduan, konsultasi kesehatan mental, edukasi, dan pendampingan.
PW PII Jabar setelah melakukan kajian khusus, tidak menemukan solusi atas permasalahan perundungan yang kian marak di Jawa Barat. Terlebih, Kutipan data yang kami temukan di laman Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), kasus di Jawa Barat dalam 3 tahun terakhir tercatat mencapai 1.186 kasus pada 2020, 1.766 kasus pada 2021 dan 2.001 kasus pada 2022. Di 3 tahun itu, Kota Bandung selalu menempati urutan pertama.
Seperti di 2020, Kota Bandung mencatatkan kasus kekerasan anak dan perempuan hingga 230 kasus. Disusul 4 wilayah lain dengan kasus kekerasan paling tinggi yaitu Kota Bekasi dengan 149 kasus, Kabupaten Sukabumi 126 kasus, Kabupaten Bandung 82 kasus dan Kota Depok 74 kasus. Begitu juga pada 2021, Kota Bandung masih menempati urutan pertama dengan 268 kasus. Disusul Kabupaten Bekasi dengan 203 kasus, Kabupaten Sukabumi 167 kasus, Kabupaten Bandung 145 kasus dan Kota Depok 141 kasus.
Dan pada 2022, Kota Bandung kembali menempati urutan pertama kasus kekerasan anak dan perempuan dengan 423 kasus. Disusul Kabupaten Bekasi 176 kasus, Kabupaten Bandung 169 kasus, Kota Depok 150 kasus dan Kabupaten Sukabumi 139 kasus. Pada tahun 2023, ada 5 daerah yang tercatat menyumbang kasus kekerasan paling besar terhadap anak dan perempuan. Kota Bandung paling tinggi disusul Kabupaten Bekasi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, dan Kota Depok.
Mengutip data yang dikeluarkan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sejak Januari hingga September 2023 tercatat ada 23 kasus bullying. Dari 23 kasus itu, 2 diantaranya menyebabkan korban perundungan meninggal dunia. Secara rinci, 23 kasus tersebut terbagi ke dalam beberapa segemen.
Kasus perundungan 50% terjadi di jenjang SMP, 23% di jenjang SD, 13,5% di jenjang SMA, dan 13,5% di jenjang SMK. Kasus paling banyak terjadi di jenjang SMP dan dilakukan oleh sesama siswa maupun dari pendidik.
Ketua umum PW PII Jabar, Muhamad Khazimi mengungkapkan, “Bahwa kekerasan dengan berbagai bentuknya tidak boleh diberi tempat dimana pun. Karena kekerasan bukan hanya bertentangan dengan fitrah suci manusia yang harus dijunjung, tetapi juga merendahkan martabat kemanusiaan. Satuan pendidikan sebagai benteng moral dalam kehidupan bermasyarakat harus menjadi entitas yang sudah semestinya paling depan menabuh genderang perang terhadap kekerasan. Namun jika para pemangku kebijakan tidak bisa optimal dalam menjalankan tugasnya maka biarkan kami para pelajar yang bergerak dan bertindak cepat untuk memeberi dampak bagi umat dan bangsa.”
Ketua BIdang III BIdang Pemerdayaan Masyarakat Pelajar PW PII Jabar, Atqiya Fadhil Rahman mengatakan, “Hal ini menjadi perhatian serius, mesti adanya kolaborasi multi-level atau kolaborasi pentahelix untuk menentaskan berbagai permasalahan perundungan dan kekerasan yang terjadi dilingkungan sekolah. Seharusnya, langkah preventif mesti di gencarkan dan menyentuh semua elemen pelajar agar kasus perundungan/bullying minim terjadi kembali.”
Ketua IV Bidang Komunikasi Umat PW PII Jawa Barat, Muhamad Fiki Farhan menjelaskan faktor penyebab terjadinya perundungan/bulliying yang terjadi di lingkungan pendidikan di sebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama kurangnya budaya apresisasi dan validasi terhadap pelajar tersebut sehingga pelajar tersebut selalu mencari validasi lewat hal-hal yang bersifat tidak baik semisal melakukan perundungan supaya di sebut sebagai seorang yang pemberani. faktor kedua adalah kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarganya yang menyebabkan kebiasaan yang terjadi di ekspresikan pelajar tersebut di sekolah.
Oleh karena itu langkah paling tepat untuk mencegah hal serupa terulang adalah: satu membudayakan apresiasi terhadap peserta didik dalam artian apresiasi yang harus di lakukan bukan hanya saja apresiasi secara akademik namun secara etika dan kemuan harus menjadi perhatian yang harus di apresiasi juga. Yang kedua, dengan cara melakukan pendidikan parenting agar menjadi pendidkan bagi orang tua ketika mendidik anak dengan baik dan benar.*