Ramah atau Marah? Wajah Muslim di Media Sosial

Oleh:
Ade Suhandi || Kasubdiv Penyiaran PPIJ dan Dosen Komunikasi
MEDIA sosial telah menjadi ruang utama interaksi umat Muslim, membentuk persepsi publik dan memengaruhi dakwah. Namun, sering kali media sosial diwarnai ujaran kebencian, debat kasar, dan kemarahan atas nama agama. Artikel ini membahas fenomena ini dari perspektif etika Islam: definisi akhlak al-karimah dalam komunikasi, fondasi Al-Qur’an dan hadis tentang adab berbicara, studi kontemporer tentang perilaku daring (online behavior), serta tantangan dan peluang dakwah digital. Artikel ini juga menawarkan pendekatan praktis untuk menumbuhkan budaya “ramah” alih-alih “marah” dalam bermedia sosial.
Media sosial telah merevolusi cara umat Muslim berkomunikasi. Ia menjadi sarana dakwah, edukasi, bahkan aktivisme. Namun, dalam praktiknya, media sosial juga menjadi ruang konflik verbal, saling hujat, bahkan perpecahan.
Fenomena “marah” di media sosial sering dibenarkan dengan dalih membela agama. Tetapi benarkah Islam mengajarkan cara berkomunikasi yang penuh amarah dan caci maki? Bagaimana seharusnya wajah Muslim tampil di ruang publik digital?
Penelitian kontemporer (Hadi & Putri, 2022) menemukan bahwa penggunaan narasi kebencian atas nama agama di media sosial menurunkan kredibilitas dakwah dan meningkatkan polarisasi sosial.
Definisi Akhlak al-Karimah dalam Komunikasi
Secara etimologis, akhlak berasal dari kata Arab khuluq (خلُق) yang berarti tabiat atau karakter. Dalam syariat, akhlak al-karimah adalah perilaku luhur yang sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din mendefinisikan akhlak sebagai:
“Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa dipikirkan.”
Dalam konteks komunikasi, akhlak al-karimah berarti berbicara dengan benar, lembut, jujur, dan tidak menyakiti.
Fondasi Al-Qur’an dan Hadis tentang Etika Komunikasi
Al-Qur’an memberikan pedoman berbicara yang berakhlak:
“Dan katakanlah kepada manusia perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 83)
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)
“Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik.” (QS. Fussilat: 34)
Hadis Nabi ﷺ:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)
“Mukmin itu bukan pencela, bukan pengutuk, bukan orang yang berkata keji dan bukan orang yang kotor lisannya.” (HR. Tirmidzi)
Tantangan Komunikasi Muslim di Media Sosial
• Anonimitas yang membuat orang lebih berani kasar.
• Budaya viral yang memicu klikbait dan provokasi.
• Fragmentasi identitas kelompok: fanatisme mazhab atau politik.
• Praktik “cancel culture” dan doxing atas nama amar makruf nahi munkar.
• Pola konsumsi informasi yang dangkal dan emosional.
Menurut Al-Attas (2014), modernitas telah mendangkalkan makna ilmu, sehingga dakwah di media sosial sering kehilangan adab yang sejatinya menjadi ciri umat Islam.
Perilaku Online: Studi Kontemporer
Penelitian psikologi sosial menemukan bahwa komunikasi daring memicu:
• Online disinhibition effect – orang lebih mudah marah atau menghina.
• Echo chamber – hanya mendengar pendapat sehaluan.
• Polarisasi identitas – melihat kelompok lain sebagai musuh.
Studi (Kusuma & Aziz, 2021) pada percakapan Islam daring di Indonesia menunjukkan bahwa ujaran kebencian sering dibungkus dalil agama, tetapi mengandung unsur penghinaan dan pemecah-belah.
Dakwah Digital: Peluang dan Risiko
• Peluang:
Menjangkau audiens luas lintas batas geografis.
Menyebarkan ilmu dan inspirasi.
Menggalang solidaritas dan bantuan sosial.
• Risiko:
Komodifikasi agama untuk popularitas.
Dakwah emosional tanpa ilmu yang memicu konflik.
Praktik mengafirkan atau membid’ahkan secara sembrono.
Hilangnya kontrol ulama atas konten agama.
Ramah atau Marah: Batas Etis dalam Islam
• Islam membolehkan amar makruf nahi munkar, tetapi dengan adab:
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah.” (QS. An-Nahl: 125)
Rasulullah ﷺ dikenal sabar menghadapi caci maki Quraisy.
Nabi ﷺ menolak membalas hinaan Thaif dengan doa kebinasaan.
• Ulama klasik menegaskan:
Ibn Taymiyyah: “Amar makruf nahi munkar wajib dengan ilmu, sabar, dan lembut.”
Al-Ghazali: “Yang membenci maksiat bukan berarti membenci pelaku secara mutlak.”
• Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu lembut dan mencintai kelembutan dalam semua urusan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Mitos “Marah Atas Nama Agama”
• “Marah demi Allah” (ghirah) adalah sikap membela kebenaran dengan adab.
• Bukan berarti membenarkan cacian, penghinaan, fitnah, atau doxing.
• Nabi ﷺ marah jika syariat Allah dilanggar, tetapi pribadi beliau penuh kasih.
• Perlu membedakan antara:
– Tegas pada prinsip.
– Kasar pada manusia.
Strategi Praktis untuk Budaya Ramah di Media Sosial
• Muhasabah niat sebelum posting atau komentar.
• Verifikasi informasi (tabayyun).
• Gunakan bahasa santun meski berbeda pendapat.
• Hindari personal attack dan labeling.
• Utamakan konten edukatif, bukan provokatif.
• Perbanyak dzikir untuk mengendalikan emosi.
• Ingat maqashid dakwah: mengajak, bukan mengusir.
Studi Kasus: Rasulullah ﷺ dalam Dakwah Publik
• Menghadapi hujatan Quraisy dengan sabar.
• Menolak balas dendam pada penduduk Thaif.
• Mengampuni musuh pada Fath Makkah:
“Pergilah kalian, kalian semua bebas.”
Teladan beliau adalah dakwah yang tegas pada prinsip, tetapi lembut pada manusia.
Wajah Muslim di media sosial mencerminkan akhlak Islam. Pilihan antara “ramah” atau “marah” bukan sekadar gaya komunikasi, tetapi cerminan iman dan adab. Islam mengajarkan amar makruf nahi munkar dengan hikmah, bukan kebencian.
Di era digital yang penuh distraksi, polarisasi, dan anonimitas, umat Islam perlu membangun budaya komunikasi yang santun, berilmu, dan bertanggung jawab, sehingga dakwah benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.*