Puasa dan Ketakwaan

 Puasa dan Ketakwaan

Oleh:

Suko Wahyudi

BULAN suci Ramadhan merupakan bulan yang sarat dengan keberkahan, ampunan, serta limpahan rahmat dan kasih sayang dari Allah SwT. Dalam bulan yang mulia ini, Allah mewajibkan umat Islam yang beriman untuk menunaikan ibadah puasa, dengan tujuan agar mereka mencapai derajat ketakwaan. Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Al-Baqarah [2]: 183)

Dalam bahasa Arab, puasa disebut shaum atau shiyam, yang secara etimologis bermakna imsak yang artinya menahan atau mencegah diri dari sesuatu. Dalam konteks ibadah, puasa berarti menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkannya, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Lantas, apakah yang harus dicegah dalam puasa? Dalam perspektif fiqh, puasa mengharuskan seseorang untuk menahan diri dari makan, minum, serta hubungan suami istri dalam rentang waktu tersebut. Namun, lebih dari sekadar aspek fisik, puasa sejatinya juga melatih jiwa untuk menahan diri dari perbuatan yang merusak nilai spiritual dan moral, sehingga menjadi sarana penyucian diri dan peningkatan ketakwaan.

Puasa yang diwajibkan bagi kaum beriman memiliki tujuan luhur, yakni meraih derajat takwa. Namun, apakah hakikat takwa itu sendiri?

Ali bin Abi Thalib mendefinisikan takwa sebagai rasa takut kepada Zat Yang Maha Agung, melaksanakan segala perintah-Nya, menerima dengan penuh keikhlasan meskipun dalam keterbatasan, serta senantiasa mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Sementara itu, Ibn Mas‘ud menguraikan takwa sebagai ketaatan kepada perintah Allah tanpa pelanggaran, mengingat-Nya tanpa kelalaian, serta mensyukuri nikmat-Nya tanpa kufur.

Dalam sebuah dialog yang penuh hikmah, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka‘ab tentang makna takwa. Ubay pun balik bertanya, “Pernahkah engkau menempuh jalan yang dipenuhi duri?” Umar menjawab, “Pernah.” Ubay melanjutkan, “Lalu, apa yang engkau lakukan?” Umar pun menjawab, “Aku berjalan dengan penuh kehati-hatian dan berusaha menghindari duri.” Mendengar jawaban itu, Ubay berkata, “Itulah takwa.”

Ketakwaan dapat diraih melalui kesadaran dalam menjalani ibadah puasa. Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan biologis, tetapi juga mengendalikan sikap dan perilaku agar tetap berada dalam koridor kebaikan. Rasulullah SaW bersabda:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan keji dan perbuatan tercela, maka Allah tidak membutuhkan ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)

Lebih dari itu, ketakwaan dalam berpuasa juga tercermin dalam sikap seseorang ketika menghadapi hinaan atau ancaman. Dalam keadaan demikian, seorang mukmin hendaknya tetap menahan diri dan dengan tenang berkata, “Saya sedang berpuasa.”

Al-Qur’an mengungkapkan berbagai indikator yang menandai seseorang sebagai insan yang bertakwa.

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. (Ali-Imran [3]: 133-135)

Dari ayat di atas, ketakwaan seorang hamba Allah SWT tercermin dalam tiga sikap utama.

Pertama, sikap dermawan, baik dalam kelapangan maupun kesempitan. Kedermawanan bukan sekadar memberi, tetapi melibatkan keikhlasan untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan, baik dalam bentuk harta, ilmu, maupun tenaga. Meskipun sering dikaitkan dengan sedekah harta, kedermawanan sejati tidak terbatas pada materi. Bahkan, zakat bukanlah bentuk kedermawanan, melainkan kewajiban yang harus ditunaikan setiap Muslim.

Kedua, kemampuan menahan amarah. Mengendalikan amarah bukan berarti tidak pernah marah, melainkan mampu menyalurkannya dengan bijak. Sikap ini menjadi ciri ketakwaan, karena semakin seseorang mampu mengendalikan emosinya, semakin ia menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan. Sebuah studi ilmiah bahkan mengungkap bahwa keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan banyak ditentukan oleh kemampuannya mengelola emosi dan amarah.

Ketiga, sifat pemaaf. Memaafkan bukanlah sekadar melupakan. Madame Swetchine, seorang penulis Rusia (1782–1857), pernah berujar, “Sangat jarang kita benar-benar memaafkan, tetapi sangat sering kita melupakan.” Memaafkan bukanlah respons alamiah manusia, melainkan sebuah perintah Ilahi yang menuntut kesadaran dan keikhlasan.

Memaafkan adalah proses yang panjang, terkadang menyakitkan, tetapi pada akhirnya membebaskan. Ia melibatkan totalitas diri seseorang dimulai dari keputusan untuk tidak membalas dendam. Dalam konteks ini, puasa hadir sebagai sarana penyucian jiwa dan raga, sekaligus sebagai jembatan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan berpuasa, manusia ditempa untuk meraih ketakwaan yang utuh, baik dalam keimanan maupun dalam pengamalan Islam.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × four =