Politik dalam Sudut Pandang Tauhid

KH Bachtiar Nasir
“Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah ayat 17).
Wilayah politik adalah wilayah maslahat. Maslahat artinya kepentingan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang abadi di wilayah politik adalah kepentingan. Bukan persatuan, apalagi kemakmuran bangsa dan negara. Bisa jadi, hari ini terbentang konflik yang luas dan tajam antara satu fraksi dengan fraksi lainnya. Akan tetapi, bukan tak mungkin, esok dua pihak yang sedang bertolak belakang itu, sudah duduk berhadapan dengan harmonis.
Seperti apa yang terjadi antara Hamas dan Iran. Dua kelompok yang saling berseberangan keyakinan ini, sepertinya tidak akan pernah bersama. Namun, kepentingan yang muncul, membuat banyak pihak kemudian berpikir untuk membuka gerbang penyatuan Sunni-Syiah. Agenda-agenda Syiah kemudian dimasukkan ke dalam agenda Sunni. Pro dan kontra kembali mengemuka.
Pertarungan ideologi dan kepentingan itulah yang terjadi, demi anggapan-anggapan kebaikan yang mereka tawarkan dalam konteks nasional dan internasional.
Disinilah seninya. Disini akan terlihat, mana orang yang cerdas dan mana orang yang bijak. Orang yang cerdas adalah orang yang mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Sementara orang yang bijak adalah dia yang mampu melihat dengan jelas, mana yang terbaik di antara yang baik dan mana yang terburuk di antara yang buruk. Butuh kecakapan dan keterampilan yang lebih tinggi untuk bisa mencapai level ini. Dimana, di tataran inilah keputusan diambil.
Politik dalam Tauhid
Di dalam Islam sendiri, politik adalah alat yang dapat digunakan untuk menjaga agama dan menjaga rakyat. Di atasnya ada tauhid yaitu Allah sebagai Rabbul ‘Alamiin. Yang Menciptakan, Yang Maha Mengatur, dan Yang Maha Memelihara alam semesta beserta isinya ini. Sekaligus, Dia pula yang akan mengancurkan alam semesta ini di Hari Kiamat karena segala sesuatunya telah selesai.
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’raf ayat 54).
Dengan tauhid Allah sebagai Rabb semesta alam inilah, kita akan mampu mengerti bahwa sesungguhnya yang akan memajukan dan menyejahterakan bangsa ini bukanlah para politisi, bukan para penguasa, juga bukan pula para pengusaha busuk yang telah memecah-belah Tanah Air kita dan menjualnya ke pihak asing.
Sungguh bukan mereka yang akan merekayasa bangsa ini. Hanya Allah yang akan menyelamatkan dan membuat Ibu Pertiwi kembali tersenyum bahagia. Inilah sandaran yang terkuat bagi orang-orang beriman. Orang yang yakin akan tauhid bahwa Allah-lah Yang Maha Terpuji, Pemilik, dan Pencipta semesta alam; senantiasa memiliki pegangan dan sandaran, sebesar apa pun badai yang akan bertiup menghempas bumi. Orang-orang beriman juga tidak akan galau menghadapi keadaan, karena mereka punya harapan tertinggi, yaitu Allah Rabbul ‘Alamiin. Jadi, seperti apa pun ugal-ugalannya orang-orang kafir dan zalim; dengan berpegangan dengan tauhid kepada Allah Azza wa Jalla ini, mereka selalu tenang dan mempersiapkan jalan keluar dengan tepat.
Daya Tahan untuk Bersabar
Daya tahan atau endurance dalam menghadapi terang dan gelapnya hidup serta menang dan kalahnya perjuangan, bukanlah hal yang mudah dilalui setiap orang. Saya punya seorang teman yang memiliki 30 outlet besar di Bandung.
Semuanya dikenal luas. Pada peresmian outlet yang ke-30, saya diundang untuk menghadiri. Saya pun kontan memuji keberhasilan kolega tersebut. Namun, apa yang dia katakan sungguh di luar dugaan. Sambil tertawa, dia berkata, “Sebenarnya ini bukan grand opening outlet yang ke-30 Ustaz. Ini hampir outlet ke-100 yang saya buka. Tapi, yang “jadi” memang hanya yang 30 ini. Itu pun tidak semuanya menghasilkan. Ada outlet yang tidak untung, tapi masih harus dipertahankan.”
Artinya, menghadapi segala rintangan dan turun naiknya kehidupan –apalagi masalah politik, kita harus sabar dan memiliki daya tahan yang kuat menghadapinya. Mungkin tak banyak yang mampu bertahan seperti presiden terpilih saat ini. Empat kali mencalonkan diri termasuk menjalani risiko pembekuan asset, diskriminasi, sampai deportasi ke negara-negara Timur Tengah; tidak akan sanggup dihadapi oleh semua orang. Namun, endurance beliau, bisa dijadikan inspirasi.
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Imran ayat 200).
Solusi yang paling hebat untuk semua carut-marutnya masalah hidup – termasuk masalah politik, tak lain hanyalah bersandar kepada Allah Rabbul ‘ Alamiin.
Allah Ta’ala lah yang kelak akan memberi jalan kepada kita. Bukan usaha kita. Layaknya apa yang dialami oleh Musa Alaihissalam yang membinasakan Firaun bukan Musa, juga bukan Bani Israil. Namun, yang membinasakan Firaun adalah air yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla untuk menenggelamkan Firaun.
Setelah Firaun tamat, apakah Musa AS kemudian menjadi penguasa di Mesir? Tidak. Allah Ta’ala malah memerintahkan beliau untuk membawa Bani Israil ke negeri Kan’an. Untuk bisa menjadi penguasa di sana, Musa AS juga diperintahkan berperang. Kaumnya menolak. Di tengah pengembaraan, Bani Israil juga berbelok iman. Meminta tuhan baru. Sungguh inilah perjuangan yang berat untuk Musa AS. Di akhir perjuangan yang panjang, Musa AS diperintahkan “kuliah” lagi. Berguru pada Khidr AS.
Namun, Musa AS akhirnya juga tak berhasil pada kuliahnya ini. Untuk satu mata kuliah yang sulit luar biasa: sabar. Akhirnya, inilah yang Allah Ta’ala ajarkan kepada kita.
Bahkan, pada semua Rasul-rasul-Nya yang mulia. Pada Ibrahim AS, Musa AS, Yakub AS, dan hingga junjungan kita Muhammad SAW yang harus bersabar dengan kemiskinan sepanjang hayatnya. Meskipun kekayaan itu mudah saja digenggamnya. Walau kekuasaan itu mudah saja direbutnya; bahkan Jibril AS pun sudah menunggu komando. Namun, tauhid dan kesabaran itulah yang beliau wariskan kepada kita. Semoga kita mampu menapaki teladannya.*