Pesan Penting Pak Natsir kepada Aktivis Dakwah

Mohammad Natsir
Ada beberapa pengalaman pribadi yang menarik tentang cara-cara yang khas Tuan Hasan. Seperti telah saya (Natsir) katakan, saya belajar agama dan bahasa Arab dari beliau. Walaupun dasar-dasarnya sudah saya dapatkan di sekolah diniyah dulu di Sumatra. Saya belajar dengan berkunjung ke rumahnya di Bandung. Kalau saya datang ke tempatnya, dia hampir selalu sedang asyik menulis. Biasanya menulis tafsir al Quran. Karena dia sedang sibuk, maka saya balik ke luar kamar. Ketika ia melihat, ia berseru memanggil,”Natsir, jangan keluar duduklah.” Jawab saya,”Tuan kan sedang bekerja”. “Ya duduklah,”katanya.
Maka mulailah saya ‘berdebat’ dengan beliau. Biasanya sejak habis ashar sampai magrib. Apa yang saya maksud dengan berdebat itu memang benar-benar berdebat. Saya membawa permasalahan lalu kita kaji, atau Tuan Hasan sendiri yang melontarkan masalah pada saya. Kalau saya tidak dapat memecahkan, maka kepada saya dibawakannya sejumlah buku untuk dipelajari. Pada pertemuan berikutnya saya mesti dapat menguraikan jawaban permasalahan yang diajukan. Demikian seterusnya cara Tuan Hasan mengajar saya.
Pada perkembangan berikutnya, setelah saya duduk di kelas tiga, Tuan Hasan meminta saya memimpin sebuah majalah Pembela Islam. Karena tugas inilah hubungan saya dengan Tuan Hasan semakin intim.
Dari uraian di atas jelas, bahwa pada mulanya saya tidak belajar agama secara formal, tapi belajar dengan cara kontak langsung dengan seorang ulama besar.
Dari pertemuan dengan Tuan Hasan itu satu hal yang sangat berkesan pada diri saya ialah caranya mendorong saya untuk maju. Ia tak pernah memaksakan satu pola tertentu kepada saya, dia selalu mendiskusikan bersama dan mendorong saya selalu berpikir.
Ada pengalaman lain dalam cara Tuan Hasan mendorong saya berfikir, yaitu pernah di suatu ketika di sekolah kami kedatangan seorang penceramah (penginjil) yang bernama Christoffer. Ia berbicara tentang Nabi Muhammad saw, yang pada mulanya ia memuji berbagai kelebihan Muhammad saw. Namun ujung dari keseluruhan uraiannya, pada akhirnya, yang benar hanyalah Jesus Kristus. Kejadian ini kemudian saya ceritakan kepada Tuan Hasan. Ia menganjurkan saya agar menanggapi ceramah tersebut dan memberi berbagai bahan bacaan kepada saya. Atas dorongan itu saya tulis brosur kecil berjudul ‘Muhammad als Profeet’.
Kesempatan lain pada waktu itu ialah perdebatan tentang nasionalisme antara kelompok Islam dengan kelompok Nasionalis (PNI). Soekarno waktu itu menjadi juru bicara PNI. Sebagai Muslim, saya merasa terpukul dengan pandangan Soekarno yang meremehkan Islam. Islam menurut Soekarno, menjadi budaya kelas dua saja (sub kultur). Menghadapi serangan PNI itu, kembali saya didorong Tuan Hasan untuk menanggapinya. Ia selalu menanamkan kebiasaan percaya diri dan jangan takut salah. Jika nanti ternyata salah, perbaiki lagi. Ia selalu memberi tamsil ‘anak itu kalau digendong terus tak akan pandai berjalan’.
Kedua, dalam bidang politik, saya banyak diilhami oleh pemikiran Haji Agus Salim. Bersama saya, yang banyak menimba pelajaran dari H Agus Salim adalah Mohammad Roem, Yusuf Wibisono, Kasman Singodimejo, dan Prawoto Mangkusasmito. Agus Salim juga mendidik generasi muda dengan cara yang sama seperti dilakukan Tuan Hasan.
Pernah pada satu kesempatan saya bersama Prawoto menemukan satu kesulitan. Kesulitan ini kemudian kami utarakan kepada Haji Agus Salim. Diutarakan pendapatnya secara panjang lebar, tetapi tidak secara langsung menjawab pertanyaan kami. Pada akhirnya lalu kami tanyakan lagi, apa yang ingin kami ketahui yaitu untuk memecahkan persoalan. Anehnya justru pertanyaan kami yang akhir ini tak dijawab. Rupanya kami disuruh berpikir sendiri, beliau memberi tahu cara analisisnya, tapi kami sendiri yang harus mengambil keputusan.
Cara inilah yang mendorong kami untuk maju. Beliau memang kami anggap sebagai sesepuh. Para sesepuh (yang benar) biasanya selalu ingin melihat kita memecahkan persoalan sendiri. Setelah benar-benar mengalami kesulitan yang tak dapat kami pecahkan, barulah ditunjukkan bagaimana memecahkan kesulitan yang dihadapi, itupun dengan cara yang tidak langsung. Dan dengan cara itu tumbuh keberanian dan kedewasaan yang pada akhirnya lahir corak kepemimpinan baru.
Ketiga, ialah Syekh Ahmad Syurkati. Dibanding dengan kedua guru saya di atas, saya memang tidak terlalu banyak bertemu dan berdialog dengan Syekh Ahmad Syurkati, karena ia menetap di Jakarta dan Bogor. Tetapi sering juga saya datang ke rumahnya di Jakarta. Rupanya ia banyak menyampaikan pemikiran Rasyid Ridha. Ada sesuatu yang menarik dari pengalaman saya, pada satu kunjungan saya ke rumah beliau. Pada waktu itu kebetulan di rumahnya sedang ada pengajian. Begitu saya masuk saya diperkenalkan dengan para hadirin, yaitu teman-teman dari al Irsyad, seraya berkata,”Saudara sekalian, saudara Natsir tinggal di Bandung. Ia punya kegiatan pendidikan yang lebih besar dari apa yang kita lakukan.” Ini tentu berlebih-lebihan. Dingin kuduk saya mendengarnya. Tapi begitulah antara lain cara Syekh Ahmad Syurkati.
Dari pertemuan dengan para tokoh di atas salah satu yang patut ditiru ialah cara mereka membimbing generasi muda, tidak dengan mendikte, kita diperlakukan sebagai pribadi. Mereka beranggapan bahwa yang muda itu bisa tumbuh dan mereka berperan sebagai pembimbing. Sehingga hubungan kami tidak kaku.
Nuim Hidayat
Dosen Akademi Dakwah Indonesia, Depok.
Sumber : M Natsir, Pesan Perjuangan Seorang Bapak, Percakapan Antar Generasi, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2019.