Pesan Penting Pak Natsir kepada Aktivis Dakwah

 Pesan Penting Pak Natsir kepada Aktivis Dakwah

Mohammad Natsir

Banyak tulisan yang menarik di buku kecil ini. Buku ini merupakan rangkuman wawancara lima kader muda dengan Pak Natsir. Mereka adalah: Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, Ahmad Watik Pratiknya dan Endang Saefuddin Anshari. Mereka pada tahun 1986-1987, secara bergantian melakukan wawancara intensif dengan Pak Natsir.

Pak Natsir dekat dengan Amien, Kuntowijoyo, Watik dan lain-lain. Pak Watik biasa mampir ke Kramat Raya 45 untuk mewawancarai Pak Natsir, sebelum ngantor di PP Muhammadiyah. Suatu ketika di tahun 1984, Pak Natsir dengan istrinya dan sekretaris pribadinya berkunjung ke Yogyakarta. Ia tidak mau bermalam di hotel, tapi justru ia bermalam di rumah Dr Ahmad Watik Pratiknya di Warungboto.

Malam jelang Pak Natsir kembali ke Jakarta, diselenggarakan silaturahmi di rumah Watik. Tokoh-tokoh cendekiawan Yogya yang hadir antara lain: Saifullah Mahyudin, A Syafii Maarif, Amien Rais, Chairil Anwar, Said Tuhuleley, Zulkifli Halim dan Lukman Hakim.

Pak Amien mendapat tempat tersendiri bagi hati pak Natsir. Suatu hari pada 1984, mantan Ketua PP Muhammadiyah ini menumpang mengetik makalah di ruangan pak Natsir. Ia sedang menyiapkan bahan seminar di Islamabad. Waktu itu Amien selain kader Dewan Dakwah, ia juga aktivis Muhammadiyah.

“Mien, sudah jam satu makan dulu,”tegur Natsir kepada Amien sambil lewat di depan mejanya. “Ya Pak, sebentar,” jawab Amien tanpa beringsut dari kursinya. Sejam kemudian pak Natsir lewat lagi. “Ini sudah hampir jam 2, makan dulu,”kata Natsir kembali menegur kepada Amien.

Dalam buku ini Natsir menyebutkan tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu : pemurtadan, gerakan sekulerisasi dan gerakan nativisasi.

Saat itu, menyaksikan perkembangan Kristenisasi di tanah air, Natsir bersama beberapa orang menteri agama, yaitu Prof HM Rasjidi, KH Masjkur, dan KH Rusli Abdul Wahid mengirim surat kepada Paus Yohanes II yang berkunjung ke Indonesia pada 3 Desember 1970.

Dalam surat itu, Natsir menyebut kegiatan Kristenisasi di Indonesia dilakukan dengan peacefull aggression atau penyerangan bersemboyan kedamaian. “Kegiatan misi Kristen/Katolik di Indonesia tampak meningkat setelah meletusnya pemberontakan Komunis G30S PKI. Keluarga orang-orang komunis yang ditangkap dan umat Islam yang miskin, adalah sasaran utama mereka, berpuluh-puluh ribu orang terpaksa masuk Kristen berkat bujukan-bujukan dan dana-dana misi tersebut. Organisasi-organisasi misionaris itu bermacam-macam dan cara yang mereka jalankan dalam aktivitasnya bertentangan dengan Pancasila (kebebasan menganut agama). Pada tahun 1967 misi tersebut mulai menunjukkan cara-cara yang sangat menyinggung perasaan umat Islam, yaitu mendirikan gereja dan sekolah-sekolah Kristen di lingkungan umat Muslim…ini menimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan seperti pengrusakan…” (M Natsir, Mencari Modus Vivendi antar Umat Beragama di Indonesia, Media Dakwah, Jakarta 1980).

Selain memperingatkan Paus, untuk menghadapi Kristenisasi, Natsir bersama kawan-kawan juga melakukan: pertama, mengirimkan tenaga dai dari organisasi Islam ke pelosok-pelosok daerah dengan salah satu tugas membendung Kristenisasi. Kedua, menulis dua karya ilmiah monumental mengenai Kristen, yaitu Islam dan Kristen di Indonesia dan Mencari Modus Vivendi antara Umat Beragama di Indonesia.

Pak Natsir dalam buku ini menyebut tentang rintangan utama untuk kebangkitan Islam. Yaitu sikap mental dan kondisi umat sebagai warisan lama yang diakibatkan oleh penjajah asing di seluruh negara Islam yang dilakukan oleh bangsa Eropa selama berabad-abad. Dampak penjajahan ini tak dapat hilang atau dihapuskan dalam waktu yang singkat.

Beberapa warisan penjajah yang dimaksud adalah. Pertama, yang menyangkut sifat atau mentalitas rakyat yang terjajah. Kendatipun de facto mereka sudah merdeka, mereka dihinggapi inferiority complex, mereka mengagung-agungkan bangsa kulit putih dan merendahkan bangsa kulit berwarna. Jadi walaupun mereka berkaok kaok menepuk dada sebagai bangsa merdeka tetapi mereka belum memiliki kesadaran diri bagaimana memajukan bangsa mereka yang telah merdeka itu.

Kedua, sebagai akibat penjajahan yang terlalu lama ialah kondisi yang secara singkat dilukiskan dengan fenomena keterbelakangan dalam segala hal terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketiga, ialah fenomena kemiskinan, baik dalam arti kemiskinan ekonomi maupun kemiskinan struktural dan budaya. Gejala kemiskinan ini akan mempunyai dampak yang amat luas dalam kehiduan umat walaupun mereka telah memperoleh kemerdekaannya secara politik.

Akibat penjajahan berabad-abad itu baik yang lahir maupun batin tidak mudah diatasi. Namun demikian yang penting adalah kita harus memahami problem yang kita hadapi, untuk selanjutnya secara bertahap dicari jalan pemecahannya. Kemampuan memahami masalah ini sendiri sudah merupakan satu kemajuan tersendiri.

Natsir mengakui ada tiga orang yang mempengaruhi pertumbuhan pemikirannya. Pertama, gurunya di bidang keagamaan adalah Ahmad Hasan. Seorang ulama besar yang berkepribadian tinggi. Ia berasal dari Singapura. Ia hidup dari pekerjaan mereparasi ban mobil. Disinilah ia bertemu dengan ulama besar, Kiai Wahab. Dari Surabaya ini kemudian ia pindah ke Bandung. Di Bandung selain mengajarkan agama, ia mengajari orang bertenun kain. Ia tidak mengajar di sekolah, melainkan di mushola. Apa yang diajarkannya rupanya menarik perhatian orang-orang muda.

Pada waktu itu (1927) saya masih belajar di AMS (SMA zaman penjajahan). Pada suatu ketika saya diajak oleh teman-teman untuk mendengarkan ceramah Tuan Hasan. Sejak itulah saya mulai tertarik dengan cara-cara ia menginterpretasikan Islam dengan menghubungkannya dengan kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ia memberantas khurafat, kekolotan dan kebekuan. Semakin saya ikut ceramah-ceramahnya semakin simpatik saya kepadanya. Sebagai anggota Jong Islamieten Bond (JIB) saya perlu memberikan pengertian yang benar tentang Islam kepada teman-teman saya yang sekuler. Karena itu saya perlu banyak belajar agama untuk selanjutnya saya berikan dalam kursus-kursus JIB. Sejak itulah kami saling berkenalan, berdiskusi dan berdialog dengan Tuan Hasan.

Di sekolah, kami terbiasa diajari berpikir secara mendalam terutama berkenaan dengan pelajaran sejarah, sejak dari yang paling klasik sampai dengan hal-hal yang berupa kajian filsafat, yang sering membuat saya dihinggapi semacam keragu-raguan. Hal yang semacam itu kemudian saya diskusikan dengan Tuan Hasan. Dari sini pulalah Tuan Hasan mulai memperhatikan saya. Dan dari pertemuan saya dengan Tuan Hasan ternyata apa yang saya anggap baru itu, baginya justru biasa-biasa saja dan ia bisa memahami pemikiran filsuf Barat tersebut. Ini menunjukkan betapa luas pengetahuannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen + 12 =