Perkembangan Islam pada Masa Kesultanan Demak

Masjid Agung Demak, salah satu peninggalan Kesultanan Demak,
KESULTANAN Demak didirikan oleh Raden Fatah, yang berasal dari keturunan Majapahit yaitu ayahnya.
Raden Fatah lahir di Palembang pada tahun 1448 M, dan merupakan putra ke-13 dari 100 putra Raja Brawijaya V.
Raden Fatah biasa dipanggil dengan sebutan Raden Hasan ataupun Pangeran Jimbun (yang berarti orang yang kuat).
Panggilan Pangeran Jimbun bermula dari sebutan ayahnya seorang Raja Majapahit Kertabumi Prabu Brawijaya V dan ibunya seorang Putri Dwarawati dari Champa dari keturunan China namun beragama Islam.
Adapun istilah Demak berasal dari bahasa Kawi yang berarti pegangan atau pemberian. Kedua, berasal dari bahasa Arab dama’ yang berarti air mata, pemberian nama tersebut relevan dengan perjuangan dalam menegakkan Islam di Jawa. Ketiga, juga berasal dari Bahasa Arab dimyat.
Ketika Raden Fatah remaja menuju baligh, pada tahun 1419 beliau melakukan perjalanan menuju Ampel Denta untuk berguru dan mempelajari Islam kepada Raden Rahmat atau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Sedangkan adik tiri Raden Fatah yakni Raden Husain (dikenal sebagai Adipati Terung) yang merupakan saudara laki-laki seibu namun beda ayah, beliau menuju Majapahit untuk berkhidmat kepada Brawijaya V.
Pada masa akhir belajar agama Islam, Raden Fatah dinikahkan dengan Nyai Ageng Malaka yaitu putri dari Sunan Ampel. Setelah mampu menguasai Islam, Sunan Ampel mengutus Raden Fatah untuk melakukan ekspansi Islam di wilayah Glagahwangi.
Jika dilihat secara geografis, Kerajaan Demak terletak di kabupaten Demak propinsi Jawa Tengah. Dulu wilayah Demak terletak di tepi selat antara Pengunungan Muria dengan Jawa, selat tersebut agak lebar dan dapat menjadi jalan pelayaran yang strategis. Sehingga kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan alternative untuk berlayar ke Rembang.
Tempat ini menjadi pusat perdangangan bagi para saudagar muslim, banyak diantara dari mereka yang melakukan aktifitas berdagang seperti membeli beras, lilin, madu, dll sekaligus menjadikan ajang untuk berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam, dan banyak yang sudah memeluk agama Islam. Namun sejak abad 17, jalan alternatif tersebut tidak difungsikan kembali.