Perempuan dan Pemberdayaan Ekonomi: Solusi atau Ilusi?

 Perempuan dan Pemberdayaan Ekonomi: Solusi atau Ilusi?

Ilustrasi

Banyak anak yang kehilangan kesempatan mendapat kasih sayang dan pendidikan terbaik ibu. Bahkan, anak menjadi pelampiasan para ibu yang stress dengan pekerjaan munculah problem penelantaran anak, kekerasan dalam rumah tangga, dan tingginya angka perceraian.

Muncul pula wanita muda yang enggan menikah, memilih childfree, serta tetap memenuhi kebutuhan seksual lewat jalur seks bebas, FWB, dan sebagainya. Sungguh tampak nyata borok sistem kapitalis yang rusak dan merusak seluruh tatanan kehidupan.

Betapa kebobrokan ini jauh sekali berbeda dari peradaban emas yang pernah tercatat dalam Sejarah dunia. Seorang sejarawan Inggris, Julia Pardoe, menulis mengenai status ibu di era Kekhalifahan Utsmani pada 1836: “Fitur yang sama-sama indah dalam karakter orang Turki adalah penghargaan dan penghormatan mereka terhadap ibu, dia tempat berkonsultasi dan menuangkan isi hati, yang didengarkan dengan penghormatan dan penghargaan, dimuliakan hingga akhir hayatnya, diingat dengan penuh kasih sayang dan penyesalan setelah pemakamannya.”

Itulah gambaran perempuan yang memiliki kedudukan mulia dalam Islam, perempuan yang dihormati karena peran muliannya sebagai ummul warobatul bait.

Perempuan yang dijamin kesejahteraannya dengan mekanisme penafkahan yang begitu komprehensif, yakni tanggung jawab nafkah oleh ayah, lalu suami, paman, bahkan negara Islam yang akan terjung langsung menjamin pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Perempuan yang berdaya dengan cita-cita kebaikan dunia dan tempat kembali abadi, yaitu akhirat. Perempuan dalam Islam tidak akan dihalangi untuk mengembangkan potensinya, negara menjamin pendidikan, hak mengkritisi penguasa, bahkan mengapresiasi intelektualitas mereka. Sebagaimana Fathimah Al Fikhri yang didukung penuh untuk mendirikan Universitas Al-Qarawiyyin, Universitas tertua dan pertama di dunia; Mariam Al-Asturlabi yang didukung dalam pengembangan astrolabe, dan masih banyak lagi Muslimah berdaya semisal ibunda Imam Syafi’i, Shalahuddin Al-Ayyubi, dan perempuan hebat di balik ulama dan tokoh terkemuka..

Bukan tanggung jawab perempuan untuk mengatasi krisis ekonomi dalam sistem Islam. Negara akan memutus semua transaksi ribawi, melarang penimbunan harta kekayaan, menstabilkan pasokan uang, menghapus pajak, mengelola kepemilikan umum untuk kemaslahatan umat, dan hanya menarik pungutan sesuai syariat.

Tidakkah kita rindu kembali kepada pengaturan kehidupan yang dipastikan sebagai pengaturan terbaik karena berasal dari Pencipta sekaligus Pengatur Kehidupan? Wallahu’alam bisshawab.[]

Jihan Ainy, Aktivis Mahasiswi Back to Muslim Identity

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 + 5 =