Penguasa Myanmar Mencoba Hapus Kewarganegaraan Etnis Rohingya
Muslim Rohingya mengungsi dari kampung halamannya.
Pangkalan data Rohingya
Karena jumlah orang yang melarikan diri dari perang, kemiskinan, penganiayaan, dan bencana lingkungan mencapai rekor di seluruh dunia, negara-negara telah beralih ke teknologi digital dan apa yang disebut ID pintar untuk memantau arus orang dan akses mereka untuk mendapatkan layanan.
Lima tahun sejak penumpasan 2017, lebih dari satu juta orang Rohingya tinggal di kamp-kamp kumuh di Bangladesh selatan yang merupakan pemukiman pengungsi terbesar di dunia, dan sedikit peluang untuk bisa kembali ke Myanmar.
Di kamp pengungsi, penduduk umumnya memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh Program Pangan Dunia untuk ransum mereka, dan kartu pintar dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR) yang berisi biometrik mereka termasuk sidik jari, pemindaian mata, dan foto.
Setelah laporan bahwa lembaga bantuan berbagi database dengan otoritas Bangladesh yang memberikan data tersebut kepada Pemerintah Myanmar, Rohingya memprotes pengumpulan data tersebut.
“Kartu pintar sangat penting bagi kami – ini adalah kartu identitas kami. Kami tidak dapat bergerak tanpanya, tidak dapat bekerja, tidak dapat memperoleh perawatan kesehatan,” kata Showkutara, 21, yang melarikan diri dari Rakhine bersama beberapa anggota keluarganya pada Oktober 2017, dan sekarang mereka tinggal di sebuah kamp di Cox’s Bazar.
“Kami sangat sedih dan juga takut data kami dibagikan kepada Pemerintah Myanmar karena kami tidak tahu bagaimana mereka akan menggunakannya,” kata Showkutara, yang mengajar bahasa Inggris dan Burma di kamp tersebut.
Dalam mengumpulkan data Rohingya, UNHCR tidak melakukan penilaian dampak data lengkap, dan dalam beberapa kasus gagal mendapatkan persetujuan untuk membagikan data mereka dengan Myanmar, kata Human Rights Watch tahun lalu.
Sebagai tanggapan, UNHCR mengatakan bahwa “langkah-langkah khusus diambil untuk mengurangi potensi risiko” dalam berbagi data, dan para pengungsi “secara tegas ditanya apakah bersedia membagikan data mereka” kepada kedua pemerintah.
Kekhawatiran seputar pengumpulan data migran dan pengungsi dalam jumlah besar oleh lembaga bantuan dan pemerintah tuan rumah telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir karena potensi penyalahgunaan.
