Palestina dan Nakbah

 Palestina dan Nakbah

KH Bachtiar Nasir

Oleh:

KH Bachtiar Nasir 

 

PALESTINA adalah negeri yang menjadi tempat Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Negeri yang dibebaskan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu 6 tahun setelah wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dari tangan orang-orang Nasrani.
Setelah itu kaum Muslimin memerintah Palestina dalam kurun waktu yang sangat lama hingga akhirnya dikuasai kembali oleh pasukan salib. Namun, para pasukan Islam di bawah kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi Rahimahullah berhasil mengusir mereka dari al-Quds.

Dan Palestina pada masa ini, seperti yang sudah diketahui berada di bawah kendali penjajah zionis Israel. Bahkan sudah 7 bulan lebih serangan brutal yang tidak mengenal kemanusiaan dan aturan-aturan perang terus dilakukan oleh Zionis.
Dimulai ketika tahun 1799, selama kampanye Perancis melawan dunia Arab, Napoleon Bonaparte menerbitkan pernyataan yang menyerukan pembentukan tanah air bagi orang-orang Yahudi di tanah Palestina di bawah perlindungan Perancis, dengan tujuan untuk memperkuat kehadiran Perancis di wilayah tersebut

Napoleon gagal, akan tetapi Inggris menghidupkan kembali rencana ini pada akhir abad ke-19, dan hal ini diwujudkan mulai tahun 1897 ketika Kongres Zionis menyerukan pembentukan tanah air bagi orang-orang Yahudi di Palestina.
Inggris menduduki Palestina sebagai bagian dari perjanjian rahasia Sykes-Picot tahun 1916 antara Inggris dan Prancis untuk membagi Timur Tengah demi kepentingan kekaisaran.

Pada tahun 1917, sebelum dimulainya Mandat Inggris (1920-1947), Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour, yang berjanji untuk membantu “pembentukan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina.”

Sejak tahun 1919 dan seterusnya, imigrasi Zionis ke Palestina, yang difasilitasi oleh Inggris, meningkat secara dramatis. Antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi.
Pada tahun 1944, beberapa kelompok bersenjata Zionis menyatakan perang terhadap Inggris karena mencoba membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina pada saat orang-orang Yahudi melarikan diri dari Holocaust. Mereka melancarkan sejumlah serangan terhadap Inggris – yang paling menonjol adalah pemboman Hotel King David pada tahun 1946 yang merupakan lokasi kantor pusat administrasi Inggris; 91 orang tewas dalam serangan itu.

Pada awal tahun 1947, pemerintah Inggris mengumumkan akan menyerahkan Palestina kepada PBB dan mengakhiri proyek kolonialnya di sana. Pada tanggal 29 November 1947, PBB mengadopsi Resolusi 181, yang merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua : negara Yahudi dan Arab.

Pada saat itu, kaum Yahudi di Palestina merupakan sepertiga dari populasi dan memiliki kurang dari enam persen total luas daratan. Berdasarkan rencana pembagian PBB, mereka mendapat alokasi 55 persen lahan.

Pembagian tersebut tidak disetujui oleh negara-negara Arab, sehingga mereka membentuk aliansi dengan nama Jaisyul Inqadz (Pasukan penyelamat). Perang menyeluruh dimulai pada tanggal 15 Mei 1948. Dan pada tanggal 21 Juni 1949 pasaukan Arab mengakui kekalahannya.

Pada malam tanggal 15 Mei 1948, Otoritas pendudukan Inggris telah mengumumkan bahwa mereka akan mengakhiri mandat mereka di Palestina. Delapan jam sebelumnya, David Ben-Gurion, yang menjadi perdana menteri pertama Israel, mengumumkan apa yang oleh para pemimpin Zionis disebut sebagai deklarasi kemerdekaan di Tel Aviv. Dan setelah itu pendapat pengakuan dari Amerika dan Rusia.

Peristiwa inilah yang dikenal dengan Nakbah. Nakbah berarti “malapetaka” dalam bahasa Arab. Karena pada saat itu negara Palestina kehilangan kedaulatannya dan rakyat Palestina terusir dari tanah airnya sendiri. Dan saat ini sudah 76 tahun setelah peristiwah Nakbah.
Pada saat itu sekitar 800 ribu warga Palestina dari total 1,4 juta terusir dari tanah airnya dan tinggal di berbagai wilayah pengungsian. Dan tersisa sekitar 150 ribu yang berada di wilayah yang dikuasai Penjajah Israel.

Jamaah shalat Jumat Rahimakumullah
Pada tanggal 15 Mei 1948, bangsa Palestina mengalami peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, yang berarti “malapetaka” atau “bencana besar.” Sehari setelah tanah mereka dirampas, gambaran kesedihan dan penderitaan mereka terhampar dalam bayangan yang mencekam.

Kota yang Hancur

Kota-kota dan desa-desa yang dulu hidup dengan keriuhan pasar dan tawa anak-anak kini berubah menjadi puing-puing. Rumah-rumah yang pernah menjadi tempat berlindung hangat kini tinggal arang dan abu. Bangunan-bangunan berdiri seperti kerangka-kerangka tanpa nyawa, sementara jalan-jalan yang biasanya ramai kini sunyi dan kosong, mencerminkan kehancuran yang telah menimpa.

Orang-Orang yang Terlantar

Ribuan warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, membawa barang seadanya dalam kantong dan karung. Sepanjang jalan yang mereka lalui, wajah-wajah penuh ketakutan dan kesedihan menggambarkan beban yang mereka pikul. Mereka berjalan tanpa tujuan pasti, langkah-langkah mereka terantuk di jalan berbatu, menuju tempat pengungsian yang belum mereka ketahui.

Keluarga yang Terpisah

Di berbagai sudut, terlihat keluarga-keluarga yang terpisah. Anak-anak menangis mencari orang tua mereka di tengah kerumunan yang panik. Orang tua dengan mata lelah dan hati remuk berusaha menemukan anak-anak mereka. Jerit tangis dan panggilan putus asa terdengar di mana-mana, menggema di antara reruntuhan dan puing-puing.

Kamp Pengungsian yang Sederhana

Di tempat-tempat terbuka, muncul kamp-kamp pengungsian darurat. Tenda-tenda sederhana dari kain dan bahan seadanya menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal. Dalam keprihatinan, mereka berdesakan di bawah tenda, mencari kehangatan dan keamanan yang tak lagi ada.

Ekspresi Kesedihan

Wajah-wajah penuh kesedihan dan keputusasaan mendominasi setiap sudut. Air mata mengalir deras di pipi mereka yang kehilangan segalanya. Anak-anak, yang seharusnya bermain dan tertawa, kini hanya bisa menatap dengan mata kosong, kehilangan masa kecil mereka yang direnggut paksa.

Kehilangan Harapan

Ada rasa kehilangan dan ketidakpastian yang mendalam. Masa depan tampak suram, seperti bayangan gelap yang menutupi harapan mereka. Banyak yang bertanya-tanya apakah mereka akan pernah bisa kembali ke rumah mereka, menginjak tanah kelahiran yang kini terasa begitu jauh.

Umat Islam Kehilangan Baitul Maqdis dan Al Aqsa

Di seluruh penjuru dunia, jutaan umat Islam merasakan kepedihan yang mendalam, seolah-olah sepotong dari jiwa mereka telah terenggut. Setiap kali mereka bersujud dalam shalat, kekosongan itu terasa semakin menyakitkan, bayangan Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa membayang di hati mereka. Kekosongan ini adalah luka spiritual yang terus menganga, mengingatkan mereka pada tanah suci yang kini terasa begitu jauh.

Doa-doa Penuh Air Mata

Masjid-masjid di berbagai negara dipenuhi umat Islam yang berdoa dengan penuh haru. Air mata mengalir tanpa henti saat mereka memohon keselamatan dan pembebasan Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa. Suara tangisan dan doa-doa yang bergema menciptakan suasana yang penuh kesedihan dan harapan, membalut hati yang terluka dengan kehangatan iman.

Khutbah yang Menggetarkan Jiwa

Para khatib di seluruh dunia menyampaikan khutbah yang menggugah jiwa, mengingatkan umat tentang makna spiritual Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa. Dalam setiap kata, tersirat sejarah yang agung dan pesan kebangkitan. Seruan untuk tidak melupakan perjuangan ini menggema, menyalakan kembali semangat di hati setiap pendengar.

Zikir Kolektif

Di berbagai kota, umat Islam berkumpul untuk melakukan zikir dan doa bersama. Suara-suara zikir yang bergema di udara menciptakan resonansi yang mendalam, membangun jembatan spiritual yang menghubungkan mereka dengan tempat-tempat suci tersebut. Dalam momen-momen ini, mereka merasakan kehadiran Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa, meskipun terpisah oleh jarak yang jauh.

Ekspresi Seni dan Sastra

Penyair, penulis, dan seniman Muslim mengekspresikan kesedihan mereka melalui karya-karya seni dan sastra yang indah dan penuh makna. Puisi-puisi yang dipenuhi kerinduan, lukisan-lukisan yang menggambarkan Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa dengan latar kesedihan, dan lagu-lagu yang meratap kehilangan menjadi sarana untuk menyuarakan perasaan mereka. Karya-karya ini tidak hanya mengungkapkan kesedihan, tetapi juga harapan dan tekad yang tak pernah pudar.

Pendidikan Generasi Muda

Para orang tua dan guru di seluruh dunia mengajarkan anak-anak mereka tentang pentingnya Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa. Mereka bercerita tentang sejarah, keindahan, dan makna spiritual tempat-tempat tersebut, menanamkan rasa cinta dan kepedihan dalam hati generasi muda. Meski belum pernah mengunjungi tempat-tempat itu, mereka merasakan kedekatan dan kerinduan yang mendalam.

Solidaritas dalam Aksi

Umat Islam menunjukkan solidaritas mereka melalui berbagai aksi damai, penggalangan dana, dan kampanye kesadaran. Meski terpisah oleh jarak, mereka bersatu dalam rasa kehilangan dan komitmen yang kuat untuk Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa. Setiap aksi adalah bukti bahwa iman dan harapan mereka tidak tergoyahkan.

Harapan dan Keteguhan Iman

Meskipun diliputi kesedihan mendalam, umat Islam tetap teguh dalam iman dan harapan mereka. Mereka yakin bahwa suatu hari nanti, Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa akan kembali menjadi tempat yang bebas untuk semua umat Islam. Harapan ini memberikan mereka kekuatan untuk terus berdoa dan berjuang, meski jalan terasa panjang dan berliku.

Peringatan Hari-hari Besar

Pada hari-hari besar Islam, seperti Ramadhan dan Idul Fitri, kesedihan semakin terasa. Umat Islam merindukan untuk merayakan momen-momen suci ini di Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa. Suasana perayaan bercampur dengan rasa kehilangan, mengingatkan mereka pada tempat-tempat suci yang kini hanya bisa mereka jangkau dalam doa.

Kesatuan dalam Kesedihan

Rasa kehilangan Baitul Maqdis dan Masjid Al-Aqsa menyatukan umat Islam dari berbagai latar belakang dan negara. Dalam penderitaan yang sama, mereka menemukan kekuatan dan kebersamaan. Kesedihan kolektif ini menjadi pengingat akan pentingnya solidaritas dan persatuan, menggambarkan esensi sejati dari iman yang mereka pegang teguh.

Di sini kami untuk menunaikan kewajiban kami sebagai seorang Muslim. Untuk menyambut seruan dari saudara-saudara kita para Murabithun dan Murabithath, para penjaga Masjid Al-Aqsha. Juga menjawab seruan para ulama dunia untuk membela dan menolong bangsa Palestina yang diberkahi Allah Ta’ala. apakah kita tidak melakukan apa-apa untuk saudara kita di sana, padahal mereka juga berjasa atas negeri ini dengan menjadi yang terdepan dalam mengakui kemerdekaan Republik Indonesia? Di samping itu mereka adalah saudara-saudara seiman kita.

Oleh karenanya, mari kita tunaikan kewajiban kita, kita membuktikan keimanan kita kepada Allah dengan terus melakukan pembelaan terhadap bangsa Palestina, menyelamatkan kiblat pertama umat Islam, dan membantu sebisa mungkin untuk mengembalikannya ke dalam pangkuan Islam. Apalagi kondisi saat ini, di mana Penjajah Israel semakin bengis membantai saudara-saudara kita di Palestian.

Apakah kita sebagai sesama muslim hanya diam melihat saudara-saudara kita didzalimi seperti itu. Berikan yang terbaik dari yang kita miliki untuk membela dan menolong mereka di sana. Jangan lupakan mereka dalam doa-doa kita. Berikan bantuan kepada mereka. Dan sebagai bentuk perlawanan, boikot setiap produk yang mendukung penjajah Zionis Israel.

Rasa sakit yang dialami mereka tentulah menjadi rasa sakit kita yang berada di sini. Ibarat satu tubuh, jika satu anggota sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan demam dan tak bisa tidur. Sebagaimana Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kasih sayang, kecintaan dan kelemah-lembutan di antara mereka adalah bagaikan satu tubuh. Apabila ada satu anggotanya yang sakit, maka seluruh tubuh juga merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Sejatinya hari ini kita sedang diuji oleh Allah Ta’ala tentang seberapa kuatkah ikatan iman yang ada dalam jiwa kita saat saudara-saudara kita di belahan bumi sana ditindas dan didzalimi? Seberapa sakitkah rasa yang kita alami ketika saudara-saudara kita di Palestina tersebut mengalami kesulitan hidup di bawah kekejaman tentara Zionis Israel?

Bukankah mereka juga bagian dari tubuh kita? Lalu apa yang telah kita lakukan untuk mereka?*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 − 5 =