Nikmat Dunia Tak Seberapa
Ilustrasi
Sebabnya, kata Imam Ibnu al-Qayyim rahimahulLaah, “Sungguh seorang hamba itu—baik dirinya, anak-istrinya maupun hartanya—hakikatnya milik Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh Allah telah menjadikan semua itu sebagai pinjaman kepada hamba-Nya. Karena itu jika Allah SWT mengambil kembali semua itu dari hamba-Nya, maka Dia seperti pemberi pinjaman yang mengambil kembali barang miliknya dari peminjamnya.” (Ibnu al-Qayyim, Zaad al-Ma’aad, 2/210).
Semua nikmat duniawi (harta, wanita, jabatan, kekuasaan, dll) juga bersifat sementara dan fana. Kematian akan menghentikan semuanya. Cepat atau lambat.
Karena itu benar yang dinyatakan oleh Muthraf bin asy-Syahir rahimahulLaah, “Sungguh kematian itu akan merusak (mengakhiri) nikmat dari orang-orang yang Allah beri nikmat. Karena itu carilah oleh kalian nikmat yang tidak akan pernah berakhir (yakni surga).” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalaa’, 4/190).
Benar pula kata-kata Ibnu Samak rahimahulLaah, “Anggaplah dunia ini ada dalam genggaman tanganmu. Lalu dunia lain yang serupa juga ditambahkan untukmu. Seluruh bagian dunia di barat dan timur juga didatangkan kepadamu. Lalu, jika kematian menjumpai dirimu, apa yang nanti tetap ada di tanganmu?” (Adz-Dzahabi, Siyar A’laam an-Nubalaa, 8/330).
Tentu, saat kita mati, tak ada sedikit pun bagian dari dunia ini yang ada di tangan kita. Semua hilang. Semua lenyap. Harta, wanita, jabatan, kedudukan, kekuasaan dll yang selama hidup kita perjuangkan mati-matian, semuanya kita tinggalkan. Yang ada dan membersamai kita tinggal amal-amal shalih kita.
Dengan demikian tentu tak elok jika kita begitu bersemangat mengejar nikmat duniawi yang amat sedikit dan fana. Sebaliknya, kita malah mengerahkan usaha alakadarnya dalam meraih nikmat surga yang berlimpah dan abadi.
Seharusnya kita selalu bersemangat mengusahakan nikmat surga yang amat berlimpah dan abadi (tak akan pernah berakhir) melebihi semangat kita dalam meraih nikmat duniawi yang amat sedikit dan fana.
Karena itu pula semangat kita dalam melakukan ragam ketaatan (seperti shalat berjamaah di masjid, tadarus al-Quran dan zikir misalnya; atau hadir di majelis-majelis ilmu, menunaikan amanah dakwah, berjuang menegakkan syariah dll) seharusnya jauh melebihi semangat kita dalam mengusahakan harta-kekayaan, jabatan, kedudukan, kekuasaan dll.
Sebabnya, kita sepantasnya khawatir bahkan takut jika di akhirat nanti Allah SWT tidak memasukkan kita dalam surga-Nya karena kurangnya amal-amal kita dan banyaknya dosa-dosa kita.
Terkait itu, tentu menarik sikap generasi salafush-shalih, seperti para Sahabat Nabi saw. yang mulia. Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, adalah salah seorang di antara sepuluh orang Sahabat yang dijamin masuk surga bersama-sama Abu Bakar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqas, Said bin Zaid dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyalLaahu ‘anhum (HR Ahmad, Tirmidzi dan an-Nasai).
