Negara Bebas Pajak, Mungkinkah?

 Negara Bebas Pajak, Mungkinkah?

Ilustrasi

“AYO PEDULI PAJAK”.  Slogan yang dibuat Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak berfungsi untuk menarik minat rakyat agar mau membayar pajak. Apalagi target penerimaan pajak tahun ini meningkat sekitar 16% dari Rp1.485 triliun pada 2022 menjadi Rp1.718 triliun tahun 2023. Maka Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Sri Mulyani mengupayakan berbagai strategi baru untuk menghadapi tantangan ini.

Salah satu strateginya adalah dengan menerapkan tarif pajak baru yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2023. Berikut ketentuannya, karyawan dengan penghasilan Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan harus membayar pajak sebesar 5%. Sedangkan penghasilan lebih dari Rp 60 juta sampai Rp 250 juta akan dikenakan pajak 15%. Lalu penghasilan lebih dari Rp 250 juta sampai Rp 500 juta dikenakan pajak 15%. Kemudian penghasilan di atas Rp 500 kena pajak 30%.terakhir penghasilan di atas 5 miliar kena pajak sebesar 35%. (Kontan.co.id, 1/1/2023)

Mengharapkan negeri ini bebas dari pajak seperti mengharap air di tengah panasnya gurun pasir. Mustahil. Karena negara ini adalah negara kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara. Maka negara akan terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara dengan meningkatkan pajak. Padahal pajak sangat membebani rakyat, sudahlah sulit mencari kerja, ditambah harga BBM dan berbagai kebutuhan pokok naik, masih juga dipalak atas nama pajak.

Sebenarnya Indonesia adalah negara yang kaya karena memiliki sumber daya alam yang berlimpah, tanah yang subur, lautan yang luas dan berbagai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun faktanya negeri ini tidak bisa membiayai biaya operasional negara tanpa pajak. Bahkan sumber pendapatan terbesar negara berasal dari pajak dan utang luar negeri berbasis riba.

Perbedaan Pajak dalam Sistem Islam dan Kapitalis

Pajak menurut syariat, secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu dharibah yang artinya memukul, mewajibkan dan membebankan. Secara istilah pajak adalah harta yang dipungut secara wajib oleh negara.

Dharibah bersifat temporer tidak kontinu dan hanya boleh dipungut apabila negara dalam keadaan darurat yang membutuhkan biaya untuk menanganinya seperti adanya bencana atau wabah, sedangkan baitulmal dalam kondisi kosong. Dharibah hanya dipungut dari kaum muslimin yang kaya saja. Jumlah yang dipungut harus sesuai dengan pembiayaan yang dibutuhkan tidak boleh lebih. Dharibah akan dihapuskan bila baitulmal sudah terisi kembali.

Sedangkan pajak dalam sistem kapitalis bersifat abadi sebagai sumber utama pendapatan negara. Pajak digunakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan infrastruktur. Pajak dipungut dari kaum muslimin maupun nonmuslim tidak memandang kaya atau miskin. Pajak beragam bentuknya dengan besaran yang sudah ditetapkan oleh negara.

Inilah sejumlah perbedaan antara pajak dalam sistem Islam dengan pajak dalam sistem kapitalis. Oleh karena itu, pajak dalam sistem kapitalis jelas haram hukumnya karena merupakan kezaliman penguasa terhadap rakyatnya.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 5 =