Muslim Amerika dan Islamophobia
Imam Shamsi Ali
Menyikapi Islamophobia
Tentu banyak lagi wajah Islamophobia di kalangan masyarakat Amerika dan Barat. Lima bentuk di atas hanya segelintir contoh yang dapat kita jadikan sebagai pijakan untuk merenung dan berpikir. Selain lebih jeli dalam melihat fenomena yang ada juga kita dituntut untuk memahami apa dan bagaimana menghadapi realita yang pahit itu. Apalagi fenomena Islamophobia ini didukung oleh tendensi ragam kepentingan. Termasuk kepentingan politik dan dominasi gobal, bahkan kepentingan ekonomi dan kapitalisme dunia.
Yang pasti dengan merujuk kepada realita Islamophobia tadi Umat ini tidak akan bisa menghindar (escaping) apalagi melarikan diri (running away) dari realita ini. Sebaliknya justeru jati diri Umat ini mewajibkannya untuk mengantisipasi dan menghadapinya.
Surah As-Soff yang dikutip terdahulu diikuti oleh informasi sekaligus tantangan agar Umat ini tegap dan tegas dalam menyikapi Islamophobia itu. “Tidakkah Aku (Allah) menunjukkan pada kalian sebuah perdagangan yang akan menyelamatkan kalian dari api yang pedih? Yaitu beriman kepada Allah dan hari Akhirat serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri-diri kalian. Itu lebih baik bagi kalian jika saja kalian mengetahui”.
Bagi masyarakat Muslim di Barat, khususnya di Amerika, jihad terbesar adalah berjuang dengan segala daya dan kapasitas yang ada untuk merombak persepsi yang salah dan jahat mengenai agama ini. Di negara yang dikenal sebagai “the land of opportunity” ini justru memberikan harapan bahwa kesalah pahaman, bahkan kemarahan dan permusuhan kepada Islam bukanlah tabiat asli dari bangsa Amerika. Sebab sejatinya dalam sejarahnya justeru Amerika adalah negara dan bangsa yang memiliki hati (a nation with heart) untuk memberi kasih sayang (compassion) kepada mereka yang datang ke negara ini. Bahkan bangsa Eropa yang datang pertama kali ke negara ini juga diterima dengan hati yang penuh kasih sayang oleh bangsa asli Amerika (Native American).
Bagi masyarakat Muslim Amerika dan Barat secara umum, minimal ada tiga hal penting dan perlu terus menerus dilakukan.
Pertama, terus melangkah dengan kepala tegap (izzah) membuktikan (bukan sekedar mengatakan) bahwa Islam adalah agama yang “rahmah” (kasih sayang) untuk semua manusia. Sebagai agama rahmah tentu perlu realita di dalam kehidupan. Karenanya masyarakat Muslim di Amerika selain harus menjaga keimanan dan keislaman mereka, juga tertantang untuk merealisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, masyarakat Muslim Amerika perlu menyadari Urgensi menjadi bagian integral dari masyarakat luas (mainstream). Mereka harus mengambil bagian dalam kehidupan publik di segala bidang; ekonomi, pendidikan, budaya dan sosial, bahkan politik dan pertahanan negara. Hal ini sesungguhnya ditekankan dalam Al-Quran dengan kata “dari kalangan mereka”. Bahwa rasul-rasul itu diutus dari kalangan mereka (minhum).
Ketiga, masyarakat Muslim perlu terus menerus melakukan “self education” (mendidik diri) dan merombak mentalitas. Dari sikap mentalitas pendatang dan tamu menjadi mentalitas tuan rumah. Bahwa siapapun di negara ini dianggap bagian, tuan dan pemilik, serta punya hak dan kewajiban yang sama. Mentalitas tuan rumah ini akan menguatkan motivasi untuk membangun “sense of belonging”. Dan dengan rasa kepemilikan ini akan tumbuh motivasi untuk menjaga, marawat sekaligus membangun dan memajukan negaranya.
Keempat, untuk menghadapi Islamophobia masyarakat Muslim harus tetap membangun harapan dan optimisme. Bahwa sepanjang apapun terowongan itu pada ujungnya ada cahaya yang bersinar. Sebagaimana di akhir Surah As-Soff tadi Allah janjikan: “Maka Dia (Allah) memberikan kekuatan (ta’yiid) kepada orang-orang beriman maka mereka pun mendapatkan Kemenangan”. “Dan niscaya janji Allah itu tidak teringkari”.
Penutup
Saya ingin mengakhiri dengan pernyataan syukur dan bangga tentunya atas diadopsinya resolusi SMU-PBB yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti Islamophobia (Day to Combat Islamophobia). Resolusi itu pastinya sesuatu langkah maju dan perlu disyukuri. Akan tetapi saya perlu mengingatkan bahwa hal ini tidak perlu disikapi secara euphoria. Seolah dengan Resolusi itu Islamophobia telah selesai.
Perlu diketahui bahwa resolusi SMU-PBB sebagaimana ribuan resolusi lainnya tidak bersifat mengikat negara-negara anggota. Hal itu mengingatkan kita akan ratusan resolusi yang mendukung Palestina. Kenyataannya Palestina tidak kemana-mana karena memang resolusi itu bersifat “non binding” (tidak mengikat). Resolusi SMU-PBB hanya akan menambah tumpukan berkas dan penggembira sesaat jika tidak ditindak lanjuti oleh negara-negara anggota.
Karenanya, harapan kita adalah agar semua anggota PBB, dimulai dari negara-negara OKI sebagai sponsor, harus menindak lanjuti resolusi itu dalam bentuk perumusan perundang-undangan yang mengatur Islamophobia di negara masing-masing. Jika tidak maka sekali lagi resolusi itu hanya bak mainan yang lucu untuk dunia Islam memang lucu-lucu!
Congratulations on the “Day to Combat Islamophobia”!
Manhattan City, 15 Maret 2023
Imam Shamsi Ali
