Muslim Amerika dan Islamophobia

 Muslim Amerika dan Islamophobia

Imam Shamsi Ali

Bentuk-bentuk Islamophobia di Amerika

Ketika berbicara tentang bentuk-bentuk Islamophobia di Barat dan Amerika khususnya, tentu banyak hal yang dapat disampaikan. Hal itu karena memang upaya meredam perkembangan Islam sangat intens dan ragam. Kali ini Saya hanya akan menyebutkan lima bentuk Islamophobia sebagai renungan bersama.

Satu, adanya upaya yang sistimatis dan secara terus menerus (konstan) untuk membangun imej atau persepsi bahwa Islam itu adalah agama pendatang baru dan ditampilkan sebagai tamu. Diakui Amerika memang adalah negara pendatang (imigran). Masalahnya kemudian hanya agama Kristen dan Yahudi yang diaanggap sebagai agama pribumi (agama asli Amerika). Sehingga Amerika seringkali diakui sebagai Judeo-Christian nation. Padahal fakta sejarah menyebutkan bahwa Islam telah hadir di bumi Amerika bahkan jauh sebelum Columbus menginjakkan kaki di bagian bumi ini.

Tujuan terutama dari imej atau persepsi yang terbangun ini adalah untuk menampilkan seolah Islam (Muslim) itu tidak punya hak, lemah, dan karenanya perlu disuguhi dan diberi. Orang-orang Islam ditempatkan pada posisi “lower hand” yang hanya menjadi beban bagi negara dan masyarakat. Akibatnya, imej dan persepsi seperti ini juga menjadi penyebab bagi tumbuhnya rasa minder (inferioritas) kepada sebagian Komunitas Muslim di Amerika.

Dua, kenyataan bahwa dunia dibagi kepada apa yang disebut “Dunia Barat” dan “Dunia Timur” (West and East). Kenyataan ini sesungguhnya bukan berdasarkan kepada pembagian geografi (letak bumi di bagian barat dan timur). Tapi sebenarnya lebih kepada pembagian demografi atau jenis manusia kepada bangsa Barat dan bangsa Timur. Maka kita kenal kemudian “western society or nations” dan seberangnya ada “eastern society or nations”. Australia dan New Zealand walau kenyataannya terletak di bagian paling timur bumi ternyata dikategorikan sebagai bagian dari western nation atau bangsa Barat.

Pembagian dunia seperti ini sejatinya sejak lama terbangun di atas motivasi rasial. Bahwa orang-orang yang di kategorikan bangsa Barat (western) itu adalah mereka yang dalam segala hal superior; pintar, kuat, maju, berperadaban, dan seterusnya. Sebaliknya dunia Timur itu adalah bangsa yang inferior, terbelakang, bodoh, lemah, dan tidak beradab (uncivilized).

Berdasarkan kepada pembagian dunia atau manusia yang demikian itulah sejak lama kita kenal bahwa studi Islam di dunia Barat lebih dikenal dengan nama “orientalisme” atau studi paham ketimuran. Dengan penamaan ini secara sistematis dibangun imej atau persepsi bahwa Islam itu adalah agama ketimuran dengan Karakter inferioritas tadi.

Islam adalah ajaran yang mengajarkan kebodohan, kemiskinan, kelemahan, keterbelakangan, dan kebiadaban (uncivilized). Maka Barat harus hadir untuk mengedukasi orang-orang selain mereka, bahkan seringkali dengan pemaksaan. Konsep-konsep kehidupan seperti kebebasan, toleransi, demokrasi, dan HAM secara umum semuanya cenderung didefenisikan dengan defenisi Barat (western mindset).

Tiga, berbagai peperangan melibatkan dunia Islam, yang pada galibnya dirancang (orchestrated) oleh dunia Barat sendiri (Amerika dan sekutunya) dijadikan justifikasi untuk melabel Islam sebagai agama kekerasan (peperangan dan terorisme). Peperangan-peperangan yang pernah dan masih terjadi, dari Afghanistan, Irak-Iran, hingga di berbagai belahan Timur Tengah lainnya menjadi alasan untuk membangun persepsi yang menakutkan tentang wajah Islam yang bengis (agama peperangan).

Padahal sekiranya pun peperangan-peperangan itu melibatkan orang Islam, adalah sangat tidak fair (adil) untuk menjadikannya sebagai justifikasi tuduhan terhadap Islam dan Umat secara keseluruhan sebagai ajaran kekerasan, peperangan dan terorisme. America dan Eropa (termasuk Australia) hendaknya jangan lupa jika tangan-tangan mereka berlumuran darah telah membasmi jutaan manusia. Dari perang Salib, perang dunia I dan II, penjajahan beratus tahun di negara-negara non Barat, hingga peperangan-peperangan masa kini sewajarnya menyadarkan bahwa Islam dalam realita justeru telah lama menjadi korban dari mereka yang mengaku lebih beradab (civilized).

Beberapa fakta sejarah juga dijadikan justifikasi bahwa Islam memang hadir untuk mengambil alih dan menguasasi dunia Barat. Kenyataan ini sering diekspresikan oleh mereka dengan kata-kata: “they have come to take over”. Sejarah kekuasaan Islam di Barat, khususnya di Eropa, menjadi momok yang menakutkan. Sampai-sampai kata “Turkish coffee” di sebagian negara Barat diidentikkan dengan kekuasaan Ottoman Empire di masa lalu.

Empat, terjadinya berbagai kekacauan sosial (social chaos) di berbagai belahan dunia Islam, khususnya di berbagai kawasan yang telah diporak porandakan oleh kekuatan luar (khususnya Barat sendiri) juga dijadikan pembenaran untuk membangun imej atau persepsi Islam sebagaj ajaran yang chaotic (kekacauan). Hal ini yang terlihat dengan jelas di Afghanistan, Irak, Libia, Suriah, dan lain-lain.

Kegagalan negara-negara mayoritas Muslim membentuk pemerintahan yang stabil, diikuti oleh berbagai kekacauan sosial, bahkan ketidak mampuan mewujudkan stabilitas sosial menjadi alasan bagi mereka untuk semakin menyalahkan Islam dan Umat. Mereka tidak saja bertepuk tangan di balik pahit getirnya realita yang dialami oleh Umat di berbagai kawasan itu. Justeru sebaliknya mereka menampilkan diri sebagai pahlawan membela nilai-nilai demokrasi, kebebasan, emansipasi wanita, dan lain-lain.

Lima, kedatangan para pengungsi di berbagai negara Barat, termasuk Amerika, yang tentunya karena peperangan-peperangan yang dirancang (orchestrated) oleh mereka sendiri juga ditampilkan sebagai hal yang menakutkan. Kedatangan mereka tidak saja dianggap menjadi beban bagi negara-negara itu. Lebih dari itu kehadiran mereka di nilai sebagai ancaman dalam banyak hal. Ternasuk ancaman budaya dan tentunya ancaman agama, bahkan ancaman eksistensi mereka.

Walau diakui bahwa salah satu hal pasti tentang para pengungsi dari negara-negara Muslim itu, bahkan termasuk dari negara-negara yang selama ini dianggap telah kehilangan identitas agama seperti Bosnia, ternyata tetap mempertahankan keimanannya di negara-negara baru itu. Masyarakat Bosnia di kota New York misalnya saat ini memiliki beberapa masjid dengan Komunitas yang cukup solid.

Realita ini menjadi sumber ketakutan tersendiri. Apalagi Islam ditampilkan di berbagai media massa sebagai ajaran atau idiologi yang antitesis dengan budaya dan gaya hidup Barat. Kehadiran para pengungsi dari dunia Islam, dengan budaya yang non liberal menjadikan mereka semakin berimajinasi dengan imajinasi-imajinasi yang menakutkan. Islam dicurigai hadir untuk mengungkung kebebasan, merendahkan wanita, berpikiran sempit, bahkan membenci dan membinasakan mereka yang berbeda, dan seterusnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 + 13 =