Mulianya Perempuan dalam Islam
Ilustrasi
5. Allah telah melarang perempuan menduduki jabatan-jabatan pemerintahan, seperti khalifah, wali (gubernur) ataupun Mahkamah Mazhaalim.
6. Islam memberikan keringanan kepada perempuan untuk tidak mengerjakan shalat dan puasa pada bulan Ramadhan ketika sedang haid atau nifas.
7. Islam menerima kesaksian seorang perempuan pada perkara-perkara yang tidak dapat diketahui kecuali oleh perempuan saja seperti masalah keperawanan dan persusuan. Di samping itu Islam menuntut kesaksian dua orang perempuan sebagai ganti dari satu orang laki-laki dalam persoalan muamalah dan uqubaat (sanksi).
Sementara itu, dalam sebagian besar taklif syar’iyyah, perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, seperti:
1. Perempuan mendapatkan hak-hak yang sama dengan pria. Perempuan berhak untuk memiliki sesuatu dan mengembangkan harta dengan cara berdagang, industri, atau pertanian.
2. Perempuan memiliki hak untuk menduduki salah satu jabatan dalam negara seperti urusan pendidikan, pengadilan, dan kedokteran.
Umar bin Khatab pernah meminta Asy Syifaa binti ‘Abdullah al Makhzumiyah, seorang perempuan dari kaumnya, sebagai seorang qadhi pada sebuah pasar di Madinah. Tidak seorangpun sahabat yang mengingkari hal ini, sehingga hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan), sedangkan ijma’ para sahabat adalah dalil syar’iy.
Para perempuan pada masa Rasul saw ikut berperan serta dalam banyak peperangan untuk melakukan pengobatan kepada orang-orang yang terluka dan mengatur urusan-urusan mereka (yang terluka).
3. Perempuan memiliki hak untuk menjadi salah satu anggota Majlis asy Syuura (Majelis Ummat). Alasannya adalah, Rasul Saw dahulu jika menghadapi suatu musibah, maka beliau saw memanggil umat Islam ke masjid baik laki-laki maupun perempuan dan beliau mendengarkan pendapat mereka semuanya.
Selain itu Rasul saw juga bermusyawarah dengan istrinya Ummu Salamah dalam perjanjian Hudaibiyah.
