Merasa Cukup Bersama Allah dan Dicukupi Allah

 Merasa Cukup Bersama Allah dan Dicukupi Allah

Ilustrasi

Sebuah kisah dari Abu Hasan Umarbin Wasil Al-Ambari, kiranya memberi gambaran kepada kita. Seorang yang bernama Sahlan bercerita bahwa dia masuk ke dalam sebuah kampung selama tujuh hari tanpa bekal makanan dan minuman. Namun, setiap kali dia butuh makan dan minum, semuanya selalu tersedia.

Kemudian beberapa waktu setelahnya, dia kembali memasuki kampung tersebut. Kali ini agak berbeda. Dia bertemu dengan seorang lelaki yang memberiku kantung uang dirham, tetapi anehnya ketika dia berjalan dan merogoh kantongnya, ternyata sudah tidak ada apa-apa. Sementara dia juga tidak mendapatkan makanan dan minuman yang biasanya tersedia. Tubuhnya pun semakin lelah dan tidak ada sedikit pun makanan.

Tak lama terdengar suara dari langit yang menyuruhnya untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kantong, niscaya rezekinya akan tersedia seperti biasa. Sahlan pun menyadari bahwa sepertinya ia ditegur akan “ketawakalannya” pada uang dirham yang diperolehnya. Saat itu, dia kemudian ingat bahwa di kantongnya masih ada dua dirham. Maka, ia pun segera mengeluarkan dan menyedekahkannya. Barulah setelah itu, nikmat makanan dan minuman yang biasa didapatkannya, tersedia kembali.

Dalam hidup, sebenarnya peristiwa semacam itu seringkali terjadi. Namun, kita salah bersandar. Ketika bekerja yang dikejar hanya uang atau, maka akan sangat lelah kehidupan ini dan rezeki dalam bentuk lainnya yang selama ini kita dapatkan pun menghilang.

Menurut Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, “Tawakal adalah sebab yang paling kuat bagi seorang hamba untuk menghadapi sesuatu yang berada di luar kemampuannya seperti bahaya, permusuhan. Orang yang sudah dicukupi dan dikindung Allah maka tidak ada bahaya yang mengancamnya kecuali apa yang bahaya yang biasa.”

Menurut Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar jilid 10 halaman 7467, “Dia yang bertawakal kepada Allah dengan menyerah sebulat hati, yakin bahwa Allah tidak akan mengecewakannya; pendirian yang seperti itu membuat dia tidak pernah berputus asa terhadap rahmat Allah. Pengalaman manusia berkali-kali, hidup adalah pergantian antara susah dengan senang. Karena keyakinan yang demian teguh, maka pintu yang tertutup bagi orang lain maka bagi orang yang bertakwa menjadi terbuka. Perbendaharaan orang yang betawakal tidak akan dibiarkan Tuhan menjadi kering. Ketika dekat akan kering, datang saja bantuan baru yang tidak disangka-sangka.”

Inilah pentingnya bertawakal kepada Allah. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla terhadap apa pun yang akan terjadi, setelah berusaha sepenuh daya; dan merasa cukup bersama dengan apa yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Sikap ini akan membuat seseorang menyadari bahwa hidup sejatinya adalah permainan, pergantian antara susah dan senang yang harus disikapi dengan tawakal.

Bukan pada ikhtiar, fokus seorang muslim mengupayakan kebutuhan yang ada dalam kehidupan. Karena, sejatinya kemampuan yang digunakan pun adalah perbendaharaan Allah yang dipinjamkan kepadanya. Namun, tambatan terkuatnya adalah bagaimana rida terhadap apa pun yang Allah berikan kepadanya. Baik atau burukkah, kurang atau sesuai dengan ekspektasikah, tepat waktu atau harus bersabarkah; semuanya adalah hal terbaik yang Allah berikan dan kita merasa cukup dengan itu semua.

“Ya Allah, sesungguhnya hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mulah aku beriman, hanyalah kepada-Mu-lah aku bertawakal. Hanya kepada-Mu aku kembali, hanya karena-Mu, aku memusuhi musuh-musuhmu. Ya, Allah sesungguhnya aku hanya berlindung kepada keagungan-Mu.” Laa haula walaa quwwata ilaabillahil aliyul adziim. []

KH Bachtiar Nasir, Pimpinan AQL Islamic Center.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × five =