Meraih Sakinah dengan Menjeda ‘Scroll’

 Meraih Sakinah dengan Menjeda ‘Scroll’

Ilustrasi: Penggunaan media sosial. [GettyImages]

Oleh: Bilal Ibnu Aqil*

“Bencana alam di Aceh: pemerintah belum menetapkan sebagai bencana nasional, apakah ada skandal korupsi terbesar hingga terbakarnya Gedung Terra Drone?”
“Kasus perselingkuhan Jule, seorang wanita yang menikahi Daehoon pria asal Korea, berakhir rujuk??” 
Begitulah headline-headline berita di media sosial kita akhir-akhir ini. Berita tentang fenomena sosial individual hingga fenomena sosial nasional kerap menjadi sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Tersebarnya berita melalui media sosial menjadikan masyarakat Indonesia masif menerima kabar tanpa dapat memilah mana yang penting dan berguna. Akibatnya, banjir berita dan kabar yang tidak penting atau bahkan menambah kecemasan dan kegelisahan terkonsumsi tanpa toleransi (no excuse). 
Fenomena ini telah disebutkan oleh Johan Hari dalam bukunya Stolen Focus, yang menjelaskan bahwa pesatnya perkembangan teknologi di media sosial mengalihkan fokus kita. Kita mengetahui banyak hal yang tidak kita butuhkan, menjadikan otak bekerja lebih banyak terhadap beragam masalah. Padahal, agar dapat memahami sesuatu dengan baik dan cermat, otak hanya ideal menerima 10-25 masalah dalam sehari, namun kenyataannya kita dapat menerima 30-50 masalah/issues dalam sehari.
Inilah alasan mengapa kita perlu sekali mengambil jeda dari peran sebagai “penonton” yang media sosial sediakan layar ponsel yang menjadi perantara dalam hidup kita tiba-tiba menjadi tujuan dari kepuasan dan dopamin-dopamin yang harus dipenuhi. Alih-alih menjadi lebih tenang, damai, dan produktif, kita justru merasakan perasaan aneh seperti lelah, cemas, atau bahkan iri hati. Tenang, Anda tidak sendirian.
Dalam pusaran kecemasan digital ini, kita sering kali lupa bahwa hidup kita sebelum semua ini terjadi baik-baik saja. Kita memiliki jam tidur yang baik dan pengelolaan emosi yang stabil. Namun, penggunaan media sosial yang tidak diiringi dengan kesadaran bahwa ia hanya alat perantara—bukan tujuan—menjadikan kita lupa bahwa kita memiliki konsep-konsep spiritual yang jauh lebih kuat dari apa pun yang ditampilkan di layar. Kita lupa bahwa sebagai seorang Mukmin, kita memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala asalkan kita beriman.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dengan penuh kasih:
{وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ}
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 139)
Tafsir dan Relevansi Ayat
Dalam Tafsir Al-Munir, Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa ayat ini turun ketika Perang Uhud, saat para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dipukul mundur. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdoa: “Ya Allah, janganlah mereka mengungguli kami. Ya Allah, kami tidak memiliki kekuatan kecuali dengan-Mu. Ya Allah, tidak ada yang menyembah-Mu di kota ini selain sekelompok orang ini (kami).”
Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat-ayat ini. Sekelompok pemanah dari kaum Muslimin kembali sadar dan berkumpul, menaiki bukit dan memanah kuda-kuda kaum musyrikin hingga mereka berhasil memukul mundur. Itulah maksud dari firman-Nya: {وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ} (padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi [derajatnya]).
Kajian Kosakata
{وَلا تَهِنُوا} (Dan janganlah kamu bersikap lemah): Artinya, janganlah kamu menjadi lemah dalam memerangi orang-orang kafir. Al-Wahn (الوهن) adalah kelemahan dalam amal (perbuatan), dalam pendapat, dan dalam perintah.
{وَلا تَحْزَنُوا} (dan janganlah [pula] kamu bersedih hati): Artinya, janganlah kamu bersedih atas apa yang menimpa kalian pada (Perang) Uhud atau peperangan lainnya berupa kekalahan. Al-Huzn (الحزن) adalah rasa sakit yang menimpa jiwa karena kehilangan sesuatu yang dicintai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × two =