Menyuap Itu Haram!

Ilustrasi: suap.
Di antara perbuatan yang termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan jalan batil ialah mengambil suap, yaitu memberikan uang kepada penguasa atau petugas, supaya penguasa atau petugas tersebut memenangkan hukum untuknya dengan mengalahkan pihak lawan, atau supaya mendahulukan urusannya atau mengakhirkannya, dan seterusnva.
Islam mengharamkan atas orang Muslim untuk menyuap kepada penguasa dan pembantu-pembantunya, sebagaimarna mereka diharamkan menerima suap. Islam juga melarang orang lain menjadi perantara antara penerima suap dengan pemberi suap.
Allah berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat makan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188).
Rasulullah Saw bersabda: “Laknat Allah atas orang yang menyuap dan yang menerima suap
dalam hukum.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya)
Dan diriwayatkan dari Tsauban, dia berkata: “Rasulullah Saw melaknat orang yang menyuap, suap, dan yang menjadi perantara penyuaparn.” (HR. Ahmad dan Hakim)
Apabila penerima suap itu menerimanya untuk berbuat zalim, maka dosanya sangat besar! Dan jika bertujuan untuk mencari keadilan, maka sudah seharusnya uang imbalan itu tidak diterimanya.
Rasulullah Saw pernah mengutus Abdullah bin Rawahah kepada orang Yahudi untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayarnya, kemudian mereka menyodorkan sejumlah uang. Maka Abdullah berkata kepada mereka (orang-orang Yahudi) itu, “Suap yang kamu tawarkan itu adalah haram, dan kami tidak mau memakannya.” (Diriwayatkan oleh Malik)
Tidaklah aneh kalau Islam mengharamkan suap, dan bersikap keras kepada setiap orang yang terlibat di dalamnya, karena menyebarkan suap ke tengah- tengah masyarakat sama dengan menyebarkan kerusakan dan kezaliman, seperti memutuskan hukum secara tidak benar, melarang diputuskannya hukum dengan benar, mendahulukan urusan orang yang mestinya diakhirkan dan mengakhirkan urusan orang yang mestinya didahulukan, dan menyebabkan meluasnya semangat komersialisme dan bukan semangat kewajiban (pengorbanan). []
sumber: Syekh Dr. Yusuf Qaradhawi, Al Halal wal Haram fil Islam.