Menjaga Silaturahim
Ilustrasi
Beliau gambarkan pekerjaan memadu istri dengan bibinya itu sebagai memutuskan kasih sayang. Maka, haramnya bibi dari istri yang bukan mahram itu bagi seorang laki-laki, karena kedua bibi itu kerabat istri, dan kalau membolehkan nikah dengan kerabat itu, berarti mengakibatkan putusnya silaturahim. Dan ini adalah qarinah bahwa kerabat (dzatur rahmi) adalah orang yang tidak boleh dinikahi. Dua hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan hubungan (shillah) dalam sabda Rasulullah Saw:
وَصِلُوا الأَرْحَامَ
(hubungkanlah kerabat/kasih sayang), adalah yang mahram saja.
Dan menghubungkan kerabat itu bisa dengan berbagai cara. Di antaranya dengan berkunjung pada hari raya, atau pada acara tertentu, memperhatikan keadaan mereka, mengampuni kesalahan mereka, meski kesalahan itu besar, memberi hadiah pada mereka pada hari raya, mendoakan mereka dan menjaga mereka, melepaskan mereka dari kebingungan, memenuhi kebutuhan mereka, kebutuhan anak-anak mereka. Tegasnya, mengerjakan kebaikan yang bisa dikerjakan untuk mereka dan menghindarkan mereka dari kejelekan-kejelekan semampunya.
Perbuatan itu — baik mengerjakan kebajikan atau menolak musibah– semua itu tidak akan berjalan kecuali dengan silaturrahim. Dan yang dimaksud pemutus silaturahim adalah orang yang tidak mengutamakan kerabatnya dan tidak menerima penghormatan (karunia) dari mereka, seperti ziarah, hadiah dan sebagainya.
Dengan demikian, orang yang tidak sempat menghubungi kerabatnya, bukan berarti pemutus silaturahim (qathi’), karena yang disebut pemutus silaturahim (qathi’ rahim) adalah yang berbuat buruk meski sedikit kepada kerabatnya.[]
Sumber:
Dr. Samih Atif Az-Zein, Sifat dan Karakter Para Dai (terjemahan), Bandung: Penerbit Hussaini.
