Menjadi Muslim Negarawan

 Menjadi Muslim Negarawan

Ilustrasi

KETUA UMUM Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar atau akrab disapa Cak Imin, melontarkan pernyataan menarik saat membuka Sekolah Pemimpin (Sespim) Perubahan untuk anggota legislatif dari PKB yang terpilih pada Pileg 2024 di Bali, NTT, NTB, Maluku, dan Maluku Utara, beberapa waktu lalu.

Menurut Cak Imin, saat ini jumlah politisi banyak tetapi tidak banyak yang menjadi seorang negarawan. Karena itu, Wakil Ketua DPR Periode 2019-2024 itu mengatakan, seorang politisi yang dilahirkan, harus memiliki sifat kepemimpinan dan kenegarawanan.

Syekh Abdul Qadim Zallum, seorang tokoh gerakan Islam internasional, dalam bukunya “Afkaru Siyasiyah” telah menjelaskan tentang siapa yang dimaksud sebagai seorang negarawan itu.

Seorang negarawan, kata Zallum, tidaklah mesti seorang penguasa, seperti kepala negara, perdana menteri, menteri ataus posisi-posisi pemerintahan lainnya.

Penguasa, kata Zallum, bisa jadi adalah seorang negarawan, tetapi bisa juga bukan. Sebaliknya, seorang warga biasa dapat menjadi seorang negarawan, meskipun ia tidak melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

“Dapat saja seorang petani di sawah, seorang karyawan di suatu pabrik, seorang pedagang, atau seorang guru menjadi seorang negarawan,” kata Zallum.

Menurut Zallum, negarawan sejati merupakan seorang pemimpin politik kreatif dan inovatif. la adalah seorang yang mempunyai mentalitas pemimpin (leadership) dan mampu mengatur urusan kenegaraan, menyelesaikan permasalahan, serta mengendalikan hubungan pribadi dan urusan umum.

Atas dasar itu, seorang negarawan dapat saja muncul di tengah-tengah rakyat dan tidak menjabat suatu kedudukan kenegaraan, serta tidak melakukan tugas-tugas pemerintahan.

Setidaknya ada tiga syarat agar seseorang dapat disebut sebagai seorang negawaran. Pertama, orang tersebut harus memiliki sudut pandang tertentu dalam kehidupannya (pandangan hidupnya), berupa pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyah).

Kedua, orang itu harus memiliki suatu sudut pandang tertentu yang dapat menjamin tercapainya kebahagiaan hakiki dalam realitas kehidupan.

Ketiga, orang itu harus memiliki suatu peradaban (hadlarah) tertentu yang mampu mengangkat manusia dalam keadaan yang luhur, bentuk kehidupan yang tertinggi, serta aspek pemikiran yang tertinggi, dipadukan dengan nilai-nilai yang luhur dan ketentraman yang abadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × two =