Menghilangkan Sifat Minder Anak

 Menghilangkan Sifat Minder Anak

Ilustrasi: Anak minder.

Hisyam berkata, “Tidak ada alasan yang ditinggalkan anak ini bagi kita dalam setiap tahun itu.”

Kemudian Hisyam memberi bantuan kepada orang desa sebanyak 100 dinar dan Wirdas mendapat seratus ribu dirham.

Anak kecil itu menjawab, “Kembalikanlah (bagianku) itu kepada orang-orang Arab wahai Amirul Mukminin. Karena khawatir bagian itu tidak mencukupi kebutuhan mereka.”

Hisyam bertanya, “Apakah engkau tidak membutuhkan?” Anak kecil itu menjawab, “Aku tidak mempunyai kebutuhan khusus selain kebutuhan untuk seluruh kaum muslimin.”

Kemudian anak kecil itu keluar, dan ia menjadi orang yang paling terhormat di antara kaum itu.

***

Berdasarkan contoh-contoh di atas, Abdullah Nashih Ulwan menyimpulkan, anak-anak generasi terdahulu (salaf) terdidik untuk membebaskan diri dari minder, penakut, dan bergantung kepada orang lain. Hal ini karena mereka dibiasakan untuk bersikap berani, biasa ikut menemani orang tuanya menghadiri majelis-majelis umum, berkunjung ke rumah teman-temannya, didorong untuk berani bicara di depan orang-orang besar, para cendekiawan, khalifah, dan amir.

Disamping itu mereka juga sering diajak bermusyawarah untuk memecahkan problema umum dan masalah-masalah ilmiah di berbagai forum.

Seluruh sikap berani yang santun ini termasuk yang dapat menanamkan dan menumbuhkan pemahaman dan kesadaran yang sangat teruji di dalam jiwa anak-anak, serta mendorong mereka untuk menaiki tangga kesempurnaan dan membentuk kepribadian, kematangan berpikir dan solidaritas sosial.

Tidak ada alternatif lain bagi para pendidik dewasa ini terutama para orang tua, kecuali menerapkan prinsip pendidikan yang utama ini supaya anak-anak tumbuh dan terdidik di atas keterbukaan yang sempurna, keberanian dengan batas-batas kesopanan, kehormatan, toleransi, dan mandiri. Kalau tidak, maka keberanian itu akan berbalik menjadi rasa tidak tahu malu dan kurang ajar terhadap orang lain.

Kita harus dapat membedakan antara perasaan malu dengan perasaan minder, karena terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara keduanya.

Minder seperti telah dijelaskan di atas, adalah perasaan takut, pesimis dan menjauhnya anak dari pertemuan dengan orang lain. Sedangkan malu adalah sikap anak yang selalu mengikuti jalan keutamaan dan adab Islam.[]

Sumber: Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (terjemah). Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × four =