Mengenal Gerakan Wahabi
Ilustrasi
Barangkali dakwah keagamaan yang mengambil ciri kekerasan itu mengarah pada sikap pelecehan terhadap pemerintahan dinasti Utsmani. Dakwah yang bermarkas di Riyad itu berlangsung terus-menerus dengan dukungan kekuatan senjata. Akibatnya, Dinasti Utsmani mengerahkan kekuatannya untuk menghadapinya, tetapi tidak berhasil mengalahkannya dan tidak mampu mengikis habis kekuatannya, sehingga Gubernur Mesir, Muhammad Ali, turun tangan untuk menghadapinya. Ia berhasil menghancurkan kaum Wahabi dengan tentaranya yang kuat dan berhasil mengalahkannya dalam beberapa kali pertempuran. Ketika itulah kekuatan senjata mereka surut dan tinggal beberapa kabilah saja.
Keempat, setiap kali menduduki suatu desa atau kota kelompok ini menghancurkan dan memusnahkan kuburan. Akibatnya, sebagian penulis Eropa menyebut mereka sebagai penghancur tempat-tempat ibadah. Barangkali pernyataan tentang tuduhan tersebut agak berlebihan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah. Akan tetapi, disinyalir mereka juga menghancurkan masjid yang berada di samping kuburan. Mereka mendasarkan tindakannya pada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi mengingkari tindakan Bani Israil ketika mereka menjadikan sebagian kuburan para Nabi sebagai masjid.
Kelima, kekerasan mereka tidak berhenti sampai disini saja, karena mereka datang ke kubur-kubur yang tampak, kemudian menghancurkannya.
Ketika kekuasaan di negeri Hijaz kembali ke tangan mereka, mereka pun menghancurkan semua kuburan para sahabat dan meratakannya dengan tanah. Sekarang ini kuburan-kuburan itu tidak ada kecuali tanda-tanda yang menunjukkan tempat kuburan itu. Mereka memperbolehkan untuk menziarahinya dan ziarah itu cukup dengan mengucapkan salam kepada penghuni kubur itu. Orang yang berziarah cukup mengucapkan Assalamu’alaikum.
Keenam, Wahabiyah memperhatikan dan melarang hal-hal kecil yang mengandung keberhalaan maupun sesuatu yang membawa kepada keberhalan, seperti fotografi. Oleh karena inilah, kita dapat menemukan hal-hal itu dalam berbagai fatwa mereka dan risalah yang ditulis oleh ulama mereka. Sementara itu, para penguasa dari Wahabiyah tidak ambil peduli terhadap pendapat mereka mengenai hal itu dan secara mencolok memasang gambar dan lukisan itu pada dinding rumah mereka.
Ketujuh, mereka memperluas pengertian bid’ah secara ganjil, sehingga mereka berpendapat bahwa memasang kain penutup pada Raudhah merupakan bid’ah. Oleh karena itulah, mereka melarang mengganti kain itu dengan kain yang baru. Sehingga kain itu mirip dengan gombal yang usang dan kotor dipandang mata. Sekiranya tidak ada nur yang memancar pada diri orang yang berada di sisi Nabi atau merasakan bahwa ia berada di tempat turunnya wahyu kepada pemimpin para rasul, niscaya ia memandangnya dengan rasa jijik.
Di atas itu semua, kita menemukan di antara mereka ada orang yang beranggapan bahwa seorang Muslim yang mengucapkan kata Sayyidina Muhammad sebagai suatu bid’ah yang tidak boleh dilakukan. Mereka benar-benar melampaui batas dalam hal itu. Dalam rangka dakwah, mereka keras dalam perkataan sehingga banyak orang yang menjauh dari mereka.
Kedelapan, sebenarnya Wahabiyah telah merealisasikan pandangan Ibn Taimiyyah dan bersikap keras dalam memperjuangkannya. Apa yang telah kami jelaskan tentang pendapat Ibn Taimiyyah ketika membicarakan mazhab orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai kaum Salaf, mereka ambil. Kemudian mereka memperluas pengertian bid’ah.
Mereka memandang beberapa hal yang tidak berhubungan dengan ibadah sebagai bid’ah. Padahal sebenarnya bid’ah ialah hal-hal yang dikerjakan oleh seseorang sebagai bagian dari ibadah dan mempergunakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan hal itu tidak ada sumber keagamaannya secara sah.
Memasang kain penutup pada Raudhah, misalnya, tidak seorangpun mengatakan bahwa tindakan itu merupakan ibadah dalam segala bentuknya. Mereka melakukan hal itu hanyalah untuk menghiasinya, supaya orang yang memandang tertarik untuk melihatnya, sebagaimana hiasa pada masjid Nabawi. Adalah aneh, mereka ingkar dan menolak kain penutup itu, namun tidak menolak hiasan-hiasan masjid tersebut, padahal merupakan suatu kontardiksi antara dua hal yang serupa.
