Mengajak Anak Belajar Setiap Saat

 Mengajak Anak Belajar Setiap Saat

Oleh:
Bunda Arina

Tak sekadar untuk menjadi tahu tetapi ilmu harus menjadi penggerak jiwa dan raga untuk mewujudkannya sekaligus membawa manfaat yang nyata.

SORE itu, seorang ibu bersama anak dan keponakannya mengendarai sepeda motor menuju rumah kerabat mereka. Di tengah perjalanan, awan hitam berarak menutupi langit, angin bertiup kencang, petirpun mulai menyambar-nyambar. Sang ibu pun dirambati kekhawatiran. Terlebih ketika keponakannya yang masih berusia enam tahun berkata dengan gelisah, “Bi, sepertinya mau hujan. Aku takut sama petirnya.” Sang Ibu pun semakin bingung.

Motor mereka masih melaju di jalanan yang padat. Kemacetan lalu lintas tak memungkinkan untuk memacu kendaraan lebih cepat. Namun, diluar dugaannya, anaknya yang berumur empat tahun tiba-tiba berujar, “Tenang aja, Om Petil (petir)-nya baik koq. Dia kan cuma suluh pulang anak-anak kalena sebental lagi hujan. Kita beldoa aja sama Allah supaya hujannya nggak bikin banjil. Supaya pohon bisa minum. Allah ‘kan sayang sama anak yang beldoa. Doanya gini ya Bunda, Allahumma Shayyiban Nafiaan. ” Celotehnya menadahkan sambil sebelah tangannya dan sebelahnya memegang stang motor.

Si Ibu pun terpana mendengar jawaban anaknya yang berusia empat tahun tersebut. Sungguh, tanpa dinyana olehnya anaknya akan berkata demikian. Masih segar dalam ingatannya ketika anaknya berlari kencang sambil menjerit ketakutan ketika mendengar suara petir yang menggelegar saat belum berusia dua tahun. Tangan kecilnya menggenggam erat-erat bahu si Ibu dan wajahnya pucat pasi. Begitu setiap kali hujan petir membadai. Meskipun di dalam rumah. Apalagi bila mereka sedang berada di tengah perjalanan. Ketakutannya selalu menjadi-jadi.

Ketakutan dan Harapan
Ketakutan itulah yang mendorong sang Ibu untuk memberitahu tentang manfaat petir sekaligus bahayanya. Tak lupa, si Ibu pun memberi panggilan pada petir dengan nama Om Petir, agar segala penjelasan yang diberikan pada anaknya tersebut dapat ditandai dengan mudah. Tak hanya sekali atau dua kali, proses  yang harus dijalani untuk membuat anaknya memahami. Hitungan tahun mesti dilewati untuk meyakinkan anak tentang manfaat dan bahaya petir.

Sedikit demi sedikit, si Ibu pun berusaha meyakinkan si anak bahwa petir adalah bentuk kasih sayang Allah agar semua kehidupan di bumi ini dapat tetap terjaga. Hingga kemudian, si Ibu memperkenalkan si anak akan doa ketika hujan turun. Doa yang paling mungkin dihapal oleh anaknya. Agar si anak memiliki harapan pada Yang Mahaperkasa untuk melindunginya. Agar ketakutan tak lagi merajai hatinya dan ketakutan tersebut berubah menjadi harapan akan kasih sayang Pencipta-Nya.

Harapan dan ketakutan, itu pula salah satu metode Rasulullah Saw menanamkan Islam pada para sahabat. Kabar gembira dan peringatan, itu pula tugas Rasulullah Saw untuk menyampaikannya pada umat manusia di muka bumi ini (QS.17:105). Kabar gembira dan peringatan, itu pula yang menjadi sebab para sahabat tak sekadar mendengar ilmu itu dari lisan Rasulullah Saw. Namun, mereka segera bergerak untuk menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh ilmu yang mereka terima.

Ilmu yang menggerakkan, itu pula yang membuat mereka tak ragu untuk segera menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Didorong oleh ketakutan akan bahaya atau kerugian yang akan mereka dapatkan, bila tak segera menjalankannya. Juga harapan akan manfaat hari ini dan janji Allah SWT di hari kemudian ketika ilmu itu segera dinyatakan. Dan, janji Allah SWT memang tak pernah ingkar. Itulah yang membuat keimanan akan ilmu yang terkandung dalam ayat-ayat Allah yang turun melalui lisan Rasul-Nya semakin mengakar kuat dan menjulang menggapai kemustahilan ukuran manusia.

Apakah kemudian mereka menjadi manusia-manusia yang perhitungan akan untung dan rugi? Sungguh, imanlah yang membuat mereka justru menjadi manusia yang total menyerahkan jiwa raga mereka kepada Allah SWT. Iman yang membuka mata hati mereka bahwa tanpa mereka berpayah-payah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya pun, Allah SWT dengan segala keluasan karunia-Nya telah memberikan yang terbaik untuk kehidupan semesta dan isinya. Imanlah yang membuat mereka bersyukur sekaligus memiliki malu yang sangat, bila tak dapat membalas cinta Allah yang berlimpah, meski dalam ukuran yang tak dapat dibandingkan dengan karunia-Nya.

Kembali lagi pada ilmu yang menggerakkan. Kabar gembira dan peringatan inilah yang terasa sekali sangat sepi dari dunia majelis ta’lim kita, dalam dunia pendidikan kita, dalam doa-doa yang diajarkan pada anak-anak kita di usia dininya. Doa hanya diajarkan supaya anak kita menjadi anak yang baik dan mendapat pahala. Padahal dalam prosesnya, banyak hal yang membuat anak-anak kita tak berada dalam kondisi yang baik-baik saja. Ketergantungan kepada Allah SWT, ketakutan tak dapat melakukan amal yang terbaik, dan harapan akan pertolongan dan keridaan Allah SWT ini yang terasa sepi dari doa yang dilantunkan anak-anak kita.

Karena itu, benarlah manakala Buya Hamka berkata, “Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi “mati” sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaian yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan baru.”

Inilah yang sangat terasa dalam jiwa-jiwa pemuda yang kini dianggap sebagai orang-orang yang berilmu. Sangat berbeda dengan jiwa-jiwa pemuda yang dulu berada dalam bimbingan Rasulullah Saw.

Pengetahuan dan Satu-persatu
Lalu bagaimana agar ilmu itu menjadi ilmu yang menggerakkan anak-anak kita mendekat pada Allah dan mendekatkan pada kejayaan Islam kembali? Marilah menengok pada bagaimana Rasulullah Saw yang mulia, mengajarkan dan menanamkan ilmu pada para sahabat. Satu persatu, sedikit demi sedikit, sesuai dengan konteks dan dalam keadaan seperti apa ilmu tersebut harus diterapkan. Sebagaimana turunnya ayat-ayat Al-Quran kedalam dada, seperti yang Allah SWT firmankan, “Dan Al Quran itu Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya secara perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”(QS.17:106)

Satu-persatu, bukan satu paket, apalagi setumpuk ilmu, inilah yang membuat para sahabat segera dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Ayat yang didalamnya terdapat ilmu kehidupan segera menjelma nyata, pelakunya pun menjadi orang masyarakat –meminjam istilah Buya. Inilah juga pentingnya, menjadi pendamping anak-anak kita dalam setiap kegiatan kesehariannya sehingga ilmu dapat disampaikan sesuai dengan kondisi yang sedang mereka hadapi (tematik, istilahnya). Karena, Al Quran pun diturunkan berangsur-angsur, satu-persatu agar benar-benar segera dipahami dan dilakukan.

Selanjutnya, berikanlah pengetahuan pada anak-anak kita akan manfaat dan kerugiannya. Kabar gembira dan peringatannya. Karena, seseorang kadang tak hanya perlu pengetahuan. Tak hanya tahu manfaatnya tetapi juga harus tahu bahaya apa yang diberitakan dalam sebuah ilmu.

Layaknya seorang penderita kolesterol tinggi yang tak hanya perlu tentang manfaat puasa Daud untuk menurunkan kadar kolesterol tetapi juga harus tahu bahaya menyantap bebek goreng saat telah berbuka. Pengetahuan yang didalamnya terhantar emosi berupa ketakutan yang menjadi bekal kedisiplinan dan harapan yang menjelma menjadi cinta. Itulah pewujud sikap terbaik dalam menerapkan ilmu. Hingga ilmu tak sekadar menjadi pengetahuan tetapi mewujud nyata. Bergerak dalam hidup keseharian. Itulah ilmu yang mampu mengerakkan.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 2 =