Membaca Genosida, Gas Gaza, dan Kemerdekaan Indonesia
Oleh:
Dr. Maimon Herawati, M.Litt (Direktur Smart171 dan Dosen Fikom Unpad)
BEBERAPA hari lalu, (7/8) Netanyahu, Perdana Menteri Israel menyampaikan pada publik rencananya untuk menguasai Gaza secara keseluruhan. Setelah Gaza ditakhlukkan, Netanyahu akan menyerahkan pengelolaan Gaza pada negara Arab yang bersahabat dengan Israel. Alasan Netanyahu melakukan itu adalah untuk menghilangkan keberadaan Hamas di Gaza.
Keinginan Netanyahu ini disetujui Dewan Keamanan Kabinet. Keputusan Dewan Kemananan Kabinet harus disetujui oleh seluruh kabinet Israel yang akan bersidang hari ini (10/8).
Pengumuman Netanyahu ini disambut kemarahan keluarga tawanan perang yang telah dibebaskan atau yang masih di dalam Gaza. Ribuan warga Israel berdemo di Tel Aviv, menolak rencana Netanyahu. Mereka berteriak operasi militer yang lebih luas sama artinya dengan membunuh tawanan (Haaretz 8/8).
Mereka mengatakan bahwa perang saat ini telah menjadi sarana pelampiasan ambisi pribadi Netanyahu. Mereka melihat Netanyahu tidak pernah benar-benar peduli dengan tawanan perang. Tawanan perang hanya dijadikan bahan propaganda untuk meneruskan perang.
Tadi pagi (10/8) keluarga tawanan mengajak dunia untuk melumpuhkan ekonomi Israel guna melawan keputusan Dewan Keamanan Israel untuk menguasai Gaza secara keseluruhan. Kolumnis Haaretz, Iris Leal, bahkan menekankan satu-satunya cara keluar dari perang Netanyahu di Gaza adalah dengan perlawanan dan penolakan.
Ini di dalam Israel.
Bagaimana memandang keinginan Netanyahu ini dari pelosok Indonesia?
Pertama, ada satu poin yang sering luput dikaitkan antara genosida Gaza dengan Netayahu. Setiap perintah serang Gaza, Lebanon, Suriah, atau Iran sering berkaitan dengan tanggal pemanggilan Netanyahu ke pengadilan karena tiga kasus korupsinya. Yang terbaru, saat Netanyahu terpaksa hadir dalam pengadilan korupsinya (16/7), militer Israel menyerang Damaskus. Serangan ini memaksa pengadilan mempersingkat sidang karena Netanyahu dibutuhkan dalam ruangan perang. Pemerintah Amerika menyatakan bahwa serangan akan Damaskus ini tidak mereka kira sebelumnya.
Berbagai pengamat dari media-media luar negeri mencurigai bahwa keputusan militer Netanyahu sangat terkait dengan usahanya menghindari pengadilan. Sepanjang Israel dalam kondisi perang, maka negara itu membutuhkan pemimpin utamanya. Dengan demikian, pengadilan Israel harus menyesuaikan jadwal dengan kondisi keamanan.
Oh iya, selain mencoba menggunakan militer, Netanyahu juga memakan makanan basi sehari sebelum pengadilan (20/7). Kondisi keracunan makanan kemudian menjadi alasan untuk tidak hadir di pengadilan.
Yang juga diupayakan Netanyahu adalah memecat jaksa agung yang menangani kasus korupsinya. Ini dilakukan setelah memecat kepala Shin Bet, badan intelijen Israel Maret lalu. Pemecatan jaksa agung ini dibatalkan pengadilan lima hari lalu.
Netanyahu adalah koruptor yang sedang dikejar lembaga pengadilan dan melakukan berbagai upaya untuk tetap dalam kekuasaan, seberdarah apapun usaha itu.
Kedua, hal yang terjadi namun jarang dikaitkan dengan genosida yang sedang berlangsung adalah kerakusan Israel untuk menguasai potensi ekonomi Palestina. Salah satunya cadangan gas lepas pantai Gaza. Hal ini pengikat ambisi Netanyahu dengan rancangan bisnis Donald Trump untuk mengubah Gaza menjadi ‘Riviera of Middle East’. Di balik narasi ‘Riviera of Middle East’ ada potensi pengelolaan gas lepas pantai Gaza yang gagal karena serangan Hamas.
Pada 2023 tercapai kesepakatan antara Israel, PLO, dan Mesir terkait gas lepas pantai Gaza. EGAS Mesir akan memimpin pengembangan ladang gas lepas pantai Gaza. Operator sebelumnya dan pemilik 90% usaha ini adalah British Gas. Kesepakatan ini gagal dilaksanakan karena tufanul Aqsa pada Oktober 2023.
Gaza marine saat ini ada di depan mata, namun belum jelas pengembangannya. Jika Gaza dikendalikan total oleh Israel, Gaza marine menjadi milik Israel dengan mudah.
Beberapa hari lalu, Israel dan Mesir kembali menekan perjanjian kerjasama gas bumi. Mesir menjadi pembeli gas Leviatan Israel yang terbesar. Action speak louder than words. Jelas di depan mata, bagi Presiden Mesir Abdul Fattah Al Sisi, genosida Gaza tidak berpengaruh dalam kebijakan pemerintahannya. Saat warga Israel sendiri menghimbau dunia melumpuhkan ekonomi Israel, Mesir menjadi penyangga ekonomi itu dengan perjanjian pembelian gas alam.
Sikap Indonesia?
Agustus ini adalah momen peringatan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Sebelum Sukarno Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Mufti Besar Palestina, Syaikh Amin Al Husaini, mendukung kemerdekaan Indonesia dalam siaran radio di Jerman pada September 1944. Pengusaha asal Palestina, Ali Taher menyumbangkan seluruh dana dalam rekeningnya untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. “Terimalah seluruh kekayaan saya ini untuk mememangkan perjuangan Indonesia,” kata Ali Taher pada Muhammad Zein Hassan pada Desember 1948. Indonesia berhutang budi pada bangsa Palestina.
Hutang budi dan kesamaan sejarah sebagai negeri terjajah harusnya memudahkan negara, pemerintah dan bangsa Indonesia memahami titik berdiri bangsa Palestina. Sejarah kita mencatat kepahlawanan Bung Tomo dan Jenderal Sudirman yang merekam jiwa pejuang bangsa ini. Jenderal Sudirman dengan perlawanan gerilyanya. Bung Tomo dengan ajakan melawan sekutu melalui siaran radio. Lebih baik gugur daripada dijajah, ini semangat bangsa Indonesia. Bandung lebih heroik lagi. Lebih baik membakar rumah sendiri daripada dimanfaatkan musuh dan sekutu.
Apa yang terus dilakukan faksi perlawanan di Gaza dan Tepi Barat adalah cermin dari kepahlawan bangsa Indonesia dahulu kala. Maka, sejatinya mudah bagi Pemerintahan Prabowo mengenali jiwa pejuang dalam bangsa Palestina. Sesama pejuang, diharapkan saling menghormati, bukan mengkhianati.*
