Memaknai Hari Santri dengan Menguatkan Budaya Ilmu Pesantren

 Memaknai Hari Santri dengan Menguatkan Budaya Ilmu Pesantren

Dr KH Akhmad Alim Lc

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang secara eksistensial merupakan produk asli Indonesia, yang berperan aktif memajukan bangsa, menjaga kesatuan NKRI dan mampu merespon tantangan-tantangan zaman dengan sukses.

Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap kemerdekaan Indonesia yang melibatkan banyak kalangan Kiai, Ulama, Santri, dan umat Islam pada umumnya. Dari pulau Madura hingga Lebak di Banten dan dari Tasikmalaya di Jawa Barat hingga Aceh di Sumatera.

Kalangan santri yang dibesarkan di pesantren-pesantren di Jawa maupun di surau-surau di Sumatra, berjuang gigih mengusir penjajah. Maka meskipun para penjajah menguasai Indonesa lebih dari 350 tahun, Indonesia tetap menjadi Negara yang mayoriotas penduduknya beragama Islam.

Bila dilihat dari perjalanan historis, pesantren dilahirkan atas kesadaran akan kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i, melalui sistem pengajian (muhadharah) yang menekankan pentingnya akhlak, di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal.

Pesantren berkembang menjadi lembaga pendidikan yang dinilai tidak kalah dengan lembaga pendidikan non-pesantren. Pembaharuan dan modernisasi merupakan konsekwensi dari tantangan zaman, meskipun demikian pesantren cenderung masih memiliki batasan-batasan yang khas, sehingga arah modernisasi tidak mengubah atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren. Hal ini bisa terlihat dari prinsip “al-Muhafazah Ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Aslah”, (melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang terbaik)

Tujuan Pendidikan Pesantren

Tujuan pendidikan pesantren adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama (tafaquh fiddin) dan mengamalkannya, serta mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat. Hal itu sesuai firman Allah:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ﴿التوبة: ١٢٢﴾

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. ( QS.At-Taubah: 122)

Sistem Pendidikan Pesantren

Sistem pendidikan pesantren memilki cari khas yang unik. Kiai sebagai sentral ilmu, tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, tapi juga mengawal akhlak santri. Kurikulum pesantren tidak hanya terbatas pada daftar mata pelajaran, tapi semua aktivitas santri selama dua puluh empat jam, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali adalah juga termasuk kurikulum pesantren.

Pesantren mendidik para santri, tidak hanya lewat teori dan ucapan, tapi dibuktikan dalam tindakan, sehingga transformasi keilmuan di pesantren diikuti dengan transformasi akhlak dan semangat juang.

Kiai sebagai teladan bagi akhlak santri, dan sekaligus sebagai ‘Role models in education’ yang ideal. Sehari-hari para santri hidup bersama kiai melihat dan merekam perilaku kyai sebagai teladan. Apa yang diajarkan, dipraktekkan secara langsung oleh kiai, sehingga sinar ilmunya menembus hati dan jiwa santri.

Dalam pendidikan pesantren dikenal dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan (mulazamah), dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut sistem kolektif (muhadharah). Dengan sistem sorogan tersebut, setiap santri mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kiai.

Kiai akan membacakan kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) dan menerjemahkannya ke dalam bahasa ibunya. Pada gilirannya santri mengulangi dan menerjemahkannya kata demi kata sama dengan apa yang diungkapkan oleh Kiai. Dengan sistem ini terjadi interaksi intensif antara guru dan murid, sehingga terjalin kedekatan yang khas antara santri dengan Kiai.

Dalam sistem bandongan atau wetonan atau kolektif ini, sekelompok santri mendengarkan seorang Kiai yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab dalam bentuk kelas. Artinya, sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Dalam sistem ini, keilmuan santri akan terus bertambah dan meningkat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 3 =