Memahami Makna As-Sunnah

 Memahami Makna As-Sunnah

Ilustrasi: Kitab Hadits

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi, “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidun setelahku”. (HR Abu Dawud dan At-Tirmizi)

As-Sunnah menurut ulama ushul fikih adalah apa yang bersumber dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam selain Al Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau.

As-Sunnah menurut ulama Hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat, atau sirah beliau.

Dengan makna seperti ini maka ia menjadi sama dengan hadits nabawi, menurut mayoritas ahli hadits. Dan penggunaan makna ini sudah umum, seperti perkataan Anda, “Hukum ini sudah ditetapkan dalam Al-Kitab”, yakni Al-Qur’an, “Hukum ini sudah ditetapkan dalam As-Sunnah,” yakni dalam hadits. Begitu pula dengan perkataan Anda juga, “Ada dalam kitab-kitab As-Sunnah,” yakni hadits.

Perbedaan dalam mendefinisikan As-Sunnah menurut istilah ini bersumber dari perbedaan mereka pada tinjauan utama dari masing-masing disiplin ilmu.

Ulama hadits, misalnya, mereka melihat dari sudut Rasulullah sebagai seorang imam yang memberi petunjuk, yang diberitakan oleh Allah, bahwa beliau adalah teladan dan panutan bagi kita. Maka mereka meriwayatkan segala yang berkaitan dengan perilaku, akhlak, tabiat, berita-berita, perkataan, dan perbuatan beliau, baik yang telah ditetapkan sebagai hukum syar’i maupun tidak.

Dan ulama ushul fikih membahas tentang Rasulullah sebagai seorang yang menyampaikan syariat yang meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid sesudahnya, dan menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan. Maka mereka memperhatikan perkataan dan perbuatan serta ketetapan Rasulullah yang dapat menetapkan hukum dan memutuskannya.

Sedangkan ulama fikih membahas tentang perbuatan Rasulullah Saw yang tidak keluar dari petunjuk terhadap hukum syara’. Tinjauan mereka adalah tentang hukum syar’i terhadap perbuatan hamba Allah dari segi wajib, atau sunnah, atau haram, atau makruh, atau mubahnya.” []

Sumber: Syekh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (terjemah), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × 4 =