Makna Jihad Secara Bahasa

Ilustrasi
JIHAD merupakan mashdar fi’il rubâ’i (yang terdiri dari empat huruf asli): jâhada, berdasarkan wazan fi’âl, dengan pengertian mufâ’alah (saling melakukan) dari kedua belah pihak. Seperti lafadz: khishâm dengan pengertian mukhâshamah (saling menyerang); dan jidâl dengan pengertian mujâdalah (saling berdebat), mashdar dari jâdala. Fi’il tsulâtsi (yang terdiri dari tiga huruf asli) kata tersebut adalah: jahida.
Para pengarang kamus telah mengemukakan mashdar tsulâtsi tersebut berikut makna-maknanya, seraya menuturkan: al-jahd[u]: at-thâqah (tenaga); jika di-dhammah (huruf jimnya) berarti: al-masyaqqah (kesulitan). [Al-Fayrûz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, materi: Ja-ha-da]
Dalam kitab Lisân al-‘Arab: jika dinyatakan: al-Jahd[u] (dengan difathah huruf jimnya) berarti: al-masyaqqah (kesulitan), dan al-Juhd[u] (dengan didhammah huruf jimnya) berarti: at-thâqah (tenaga). Di dalamnya juga terdapat lafadz: al-Jihâd: … mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik berupa perkataan maupun perbuatan. [Ibn al-Mandhûr, Lisân al-‘Arab, materi: Ja-ha-da]
Pengarang kitab al-Munjid mengatakan: Jâhada-Mujâhadah wa Jihâd[an]: badzala wus’ahu (mengerahkan kemampuannya).. Pada dasarnya, masing-masing mengerahkan kemampuannya untuk melindungi temannya. [Louis Ma’lûf, al-Munjid, materi: Ja-ha-da]
Dalam kitab Syarh al-Qasthalâni ‘alâ Shahîh al-Bukhârî dinyatakan: al-Jihâd dengan dikasrah huruf jimnya adalah bentuk mashdar; Jahadtu al-‘aduwwa mujâhadat[an] wa jihad[an] (saya memerangi musuh dengan peperangan habis-habisan dan sungguh-sungguh). Asalnya adalah: Jîhâd; seperti lafadz: Qîtâl, lalu bacaannya diperingan dengan membuang huruf ya’ (setelah jim dan qaf); lafadz tersebut merupakan pecahan dari lafadz: al-Jahd, dengan difathah (huruf jimnya), yang berarti: at-ta’b (lelah) dan al-masyaqqah (sulit), karena kelelahan dan kesulitan yang ada di dalamnya bersifat terus-menerus; atau pecahan dari lafadz: al-Juhd dengan didhammah (huruf jimnya), yang berarti: at-thâqah, karena masing-masing mengerahkan tenaganya untuk melindungi temannya. [Al-Qasthalâni, Syarh al-Qasthalâni ‘alâ Shahîh al-Bukhârî, juz V, hal. 30]
Dalam kitab Tafsîr an-Naysâbûrî dinyatakan: yang benar, bahwa jihad itu adalah mengerahkan al-majhûd (seluruh kemampuan) untuk memperoleh al-maqshûd (tujuan). [An-Naysâbûri, Tafsîr an-Naysâbûrî, juz XI, hal. 126]
Dalam kitab Badâ’i’ as-Shanâ’i’ dinyatakan: Jihad, menurut bahasa, adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan (al-juhd), dengan didhammah huruf jimnya, berarti kemampuan dan tenaga; atau tentang bekerja keras; dari akar kata: al-jahd, dengan difathah jimnya. [Al-Kasâni, Badâ’i’ as-Shanâ’i’, juz VII, hal. 97]
Dia juga mengatakan: atau tentang bekerja keras; dengan merujuk pada wazan: fâ’ala-mufâ’alah, bukan dengan pengertian mufâ’alah (saling melakukan) dari kedua belah pihak, namun dengan pengertian mubâlaghah (hiperbolik), seperti: dhâ’afa-mudhâ’afah, dengan pengertian: dha’afa-tadh’îf[an] dengan pengertian hiperbolik (mubâlaghah) dan berlipatganda (taktsîr). Namun penggunaan seperti ini jarang dipakai dibandingkan dengan pengguaan yang pertama. [Al-Hamalâwi, Syadz al-‘Urf fî Fann as-Sharf, hal. 43]
Setelah beberapa kutipan seputar makna bahasa mengenai kata: Jihâd yang telah dipaparkan, maka kita bisa membuat definisi secara literal, yang merupakan pengertian hakiki atas lafadz Jihâd secara etimologis. Kami simpulkan: Jihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan antara kedua belah pihak untuk saling mempertahankan, meski hanya (berdasarkan) perkiraan. Yang kami maksud dengan “perkiraan” adalah jihad seseorang melawan dirinya, dengan perkiraan bahwa di dalam diri orang tersebut ada dua sisi, ketika dua kepentingan yang saling berlawanan saling bertarung; masing-masing berperang agar menang atas yang lain. Di dalam definisi ini, kami menggabungkan antara apa yang dinyatakan dalam kitab Lisân al-‘Arab dengan Syarh al-Qasthalâni, kemudian kami tambahkan: meski hanya (berdasarkan) perkiraan sebagai tambahan penjelasan.
Berangkat dari definisi etimologis ini, bisa disimpulkan, bahwa kemampuan yang dikerahkan itu kadangkala berbentuk aktivitas fisik, menggunakan senjata, atau tanpa senjata, dengan mengeluarkan uang atau tidak; kadang berbentuk ucapan; kadangkala mencegah aktivitas tertentu disertai dengan ucapan, seperti orang yang dilarang mentaati kedua orang tuanya dalam perkara maksiat yang mereka perintahkan, dan bersabar atas tekanan mereka. [As-Syawkâni, Fath al-Qadîr, juz IV, hal. 193]