Makna Israf dan Tabdzir

 Makna Israf dan Tabdzir

Ilustrasi

وَلَا تُطِيْعُوْٓا اَمْرَ الْمُسْرِفِيْنَ ۙ الَّذِيْنَ يُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ وَلَا يُصْلِحُوْنَ

“Dan janganlah kamu perintah orang-orang yang melampaui batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak melakukan perbaikan.” (Asy-Syu’ara: 151 -152)

Jadi kata israf dan musrifin memiliki beberapa makna syara’. Oleh karena itu, penafsiran menurut makna bahasa tidak diperbolehkan. Bahkan, harus dibatasi hanya dengan makan syara’ saja. Dengan meneliti kata musrifin, israf, mubadzirin dan tabdzir dalam Al-Qur’an yang ada semata-mata hanya satu makna yaitu menafkahkan harta dalam perkara yang haram.

Israf dalam praktik wudhu, maknanya adalah melebihi tiga kali (guyuran air), karena hal ini telah melampaui apa yang telah diperintahkan oleh syara’. Praktik tersebut jelas-jelas tergolong israf, jadi maknanya bukan israf (berlebih-lebihan) dalam pemakaian air. Seperti halnya menjadikan shalat sunah subuh lebih dari dua rakaat, padahal sunnahnya dua rakaat. Sama halnya menjadikan bacaan tasbih sebanyak tiga puluh lima kali, padahal sunahnya tiga puluh tiga kali.

Berdasarkan hal itu, sebenarnya seorang muslim bisa saja menafkahkan hartanya untuk perkara mubah dan ketaatan sekehendak hatinya, tanpa syarat-syarat mengikat apapun. Baik karena ia butuhkah, ataupun karena semata-mata pemberian saja, semuanya adalah mubah. Dan bukan dianggap israf. Penyataan yang menyatakan bahwa hal itu tergolong israf yang diharamkan adalah tidak benar, sebab itu berarti mengharamkan sesuatu yang dimubahkan. Sedangkan menyatakan sesuatu yang tidak dinyatakan oleh syara’ termasuk perbuatan dusta atas nama Allah.

Ayat-ayat yang menyatakan tentang israf dan tabdzir amat jelas. Bahwa kesemuanya memiliki arti membelanjakan harta untuk perbuatan (perkara) yang haram. Padahal, disamping itu Allah juga tidak mengharamkan idha’atul mal (melenyapkan harta kekayaan) tanpa ada sebab apapun. Lalu bagaimana mungkin infak dalam jumlah banyak untuk perkara yang tergolong mubah diharamkan?

Rasulullah Saw bersabda:

حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الْاُمَّهَاتِ وَوَأْدُالْبَنَاتِ وَمَنَعَ وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةُ السُّؤَالِ وَاِضَاعَةً

“Kalian diharamkan berbuat durhaka kepada ibu-ibu kalian, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan dilarang menghimpit (di tanah), serta makruh bagi kalian mengatakan ‘begini’ dan ‘begitu’ serta banyak bertanya dan melenyapkan harta”.

Idha’atul mal adalah makruh, dan bukan haram. Makruh di sini berarti, tidak ada dosa di hadapan. Disamping itu, makna kata israf menurut arti bahasa adalah melampaui batas. Maka, bila seseorang ingin menafsirkan ayat-ayat dengan makna tersebut, pertanyaannya adalah apa batasannya sehingga dianggap hal itu melampaui batas? Apakah menurut batas kebutuhan hidup masyarakat Yaman, atau masyarakat Syam, atau para fukara atau orang-orang kaya atau orang-orang yang sederhana hidupnya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × five =