Kolonisasi China terhadap Dunia Islam dan Genosida Uighur

 Kolonisasi China terhadap Dunia Islam dan Genosida Uighur

Program Belt and Road Initiative, yang diluncurkan satu tahun setelah Xi memimpin, menjadi bukti bahwa kampanye kolonialisme China akan melalui strategi ‘bergigi tiga’. Pertama, Jalur Sutra, sebuah jalur perdagangan bersejarah yang titik awalnya di Turkistan Timur. Kedua, adalah jaringan Jalur Sutra Maritim Abad 21 yang menghubungkan jalur lautan.

Ketiga, Jalur Sutra Digital (Digital Silk Road). Untuk memuluskan jalur sutra, langkah pertama adalah mennghapuskan Muslimm Uighur di Turkistan Timur. Pembangunan kamp konsentrasi pada 2014 -yang terinspirasi Nazi Jerman- merupakan langkah pertama untuk menghancurkan identitas agama dan budaya penduduk Turkistan Timur (Uighur, Kazakh dan Kirgiz).

Langkah selanjutnya adalah menunjuk Chen Quanguo sebagai pemimpin wilayah Turkistan Timur pada 2016. Sebelum Chen memimpin wilayah Tibet secara otoriter. Chen membangun tidak kurang dari 1200 kamp konsentrasi dengan jumlah warga Tibet yang masuk kamp mencapai 3 juta orang.

Warga yang telah ditempatkan di kamp konsentrasi kemudian dijadikan pekerja paksa di pabrik-pabrik seperti Apple, Nike, Zara dan lain-lain. Kamp konsentrasi inii dicitrakan pemerintah China ke dunia luar sebagai pusat hiburan dan Pendidikan. Padahal kenyataannya kamp konsentrasi ini digunakan Partai Komunis China untuk praktek perbudakan terhadap berbagai golongan warga, termasuk para akademisii, dokter, pengacara, pemuka agama dan pengusaha.

Meskipun berbagai pengamat independent, organisasi internasional dan pemerintahan dari berbagai negara telah mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia di Turkistan Timur, perusahaan-perusahaan tersebut tetap tidak ingin memindahkan pabrik mereka sebab resikonya besar.

Mereka terus berusaha menghasilkan keuntungan ekonomi dengan mengorbankan hidup jutaan para pekerja Muslim itu. Perusahaan seperti Apple bahkan telah melobi Kongres AS agar tidak mensahkan regulasi yang akan menerapkan sanksi terhadap perusahaan yang menggunakan pekerja paksa tersebut.

Tindakan kriminal pemerintah China terhadap kelompok minoritas ini sudah lebih dari sekedar praktek perbudakan. Apa yang dilakukan mereka lebih kejam dari invasi Mongol.

Untuk memenuhi tujuan Partai Komunis China, yaitu menghapuskan identitas agama dan bangsa di Turkistan Timur, perempuan Muslim dipaksa untuk hidup bersama dengan warga China Han. Anak-anak dipisahkan dari keluarganya lalu ditempatkan di panti asuhan. Perempuan dipaksa untuk menjalani sterilisasi dan diperkosa. Ibu-ibu hamil digugurkan dan perempuan yang memakai kerudung dipaksa untuk melepaskannya. Masjid-masjid dirobohkan dan papan yang bertuliskan nama Allah dan Nabi Muhammad saw digantikan dengan nama Xi Jinping dan slogannya. Bangunan masjid yang masih ada digunakan sebagai bar dan kafe sebelumnya kubahnya dihancurkan.

Otak dari semua tindakan ini adalah Xi Jinping dengan motto “Tidak ada hormat sedikitpun” dan Chen Quanguo yang ingin “membasmi setiap orang yang harus dibasmi.”

Ketika Turkistan Timur dikuasai pasukan militer China, Muslim Uighur dihadapkan pada tiga pilihan: bekerjasama dengan rezim komunis, melarikan diri ke luar negeri atau dibunuh. Muslim Uighur saat itu bisa melarikan diri ke wilayah Turkistan Barat dan Uni Soviet. Sekitar 70 ribu anggota Sharqi Turkistan Army berhasil melewati perbatasan Soviet, termasuk tokoh seperti Ziya Samedi, Abduruf Mahsum, Gheni Batur.

Tokoh lainnya seperti Isa Yusuf Alptekin dan Mehmet Emin Bugra -mereka berfikir bahwa mustahil melindungi hak warga Uighur jika tetap tinggal di Turkistan Timur- juga melarikan diri ke India dan Pakistan melalui jalur darat hingga berhasil mendapatkan perlindungan di Turki. Para diaspora Uighur ini kemudian mampu berkontribusi bagi nasib Turkistan Timur. Namun ada ratusan warga yang meninggal.

Dalam hal ini, Isa Yusuf Alptekin menulis,”Beberapa teman kami -yang harus menyeberangkan hewannya melewati air yang dingin beberapa kali dalam sehari—kakinya beku dan dagingnya membusuk. Ketika kuda yang ditunggangi anak saya tergelincir dan hampir masuk jurang, empat atau lima orang memegang kuda itu dan menyelamatkan anak saya dari kematian…”

Sementara itu, tokoh-tokoh yang tetap tinggal di Turkistan Timur ditangkap pasukan China. Pada 1853, ada sekitar 100.000 warga Uighur yang ditangkap atau dibunuh, termasuk Abdulaziz Chingishan Damollam, yang pernah belajar di Mesir dan membesarkan seorang pemuda Uighur ketika kembali dari Mesir.

Kejahatan genosida China juga dilakukan pada abad ke-21 ini. Peneliti Adrian Zenz memiliki dokumen 5000 foto yang diiambil dari kantor polisi dan pusat penahanan. Jenis jaket yang digunakan oleh para korban mengingatkan kita pada foto-foto yang diambil Nazi di kamp konsentrasi. Dokumen-dokumen ini bukti paling jelas bahwa genosida rezim komunis China tidak bisa dibantah lagi. Dokumen ini membantah klaim pemerintah China tentang keberadaan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Ketrampilan Vokasi. Pusat tersebut sebenarnya layaknya penjara dimana perlakuan-perlakuan tidak manusiawi terjadi.

Banyak kematian di kamp konsentrasi itu. Kamp itu tidak boleh dikunjungi wartawan atau peneliti independen. Mereka ada yang menderita kelaparan, shalat tidak boleh dilaksanakan, Al-Qur’an tidak boleh dibaca dan identitas agama Islam dihapuskan. Budaya Islam itu diganti dengan tari-tarian dan musik ala komunis China.

Bertumpuk bukti yang disajikan buku ini tentang genosida yang dilakukan pemerintah China terhadap Muslim Uighur. Buku ini sangat berguna bagi peneliti, dosen, aktivis, ustadz dan masyarakat yang ingin mengetahui politik China di dalam negeri dan dunia. Sayang bila dilewatkan. Wallahu alimun hakim. []

Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik

Sumber : Abdulhakim Idris, Kolonisasi China terhadap Dunia Islam dan Genosida Uighur, Pustaka Al- Kautsar, Desember 2023.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 − 13 =