Kisah yang Terlewat dari Perang Yamamah

 Kisah yang Terlewat dari Perang Yamamah

Ilustrasi

Bumi Yamamah bersimbah darah. Tumpah di tanah yang tandus. Suara gemercing pedang, ringkikan kuda perang, adu tombak dan jerit kesakitan para prajurit menghentak siang bolong yang terik. Pasukan Muslim kala itu memakai pakaian serba putih. Membedakan diri dengan musuhnya, serdadu Musailamah al-Kadzdzab. Tentara shahibul Yamamah kerap memilih ragam warna pakaian perang, kelabu, coklat, hingga hitam. Ini adalah pertempuran haq dan batil. Perang sesama bangsa Arab yang berbeda aqidah.

Pemegang bendera Anshar adalah Tsabit bin Qais. Pemegang panji Muhajirin ialah Salim Maula Abu Hudzaifah. Keduanya paham bahwa pasukan Muslim sedang terdesak. Nampaknya umat Muhammad SAW akan kalah. Lemahnya semangat tempur dari para mualaf mungkin jadi sebabnya, hingga Tsabit berujar keluh, “Bukan seperti ini peperangan yang pernah kami lalui bersama Rasulullah!”

Petuahnya itu tidak dihiraukan oleh para mujahid yang kocar-kacir. Pasukan Muslim nampak hampir putus asa lari ke segala arah. Menyelamatkan nyawa laksana tiada iman yang menyala. Memang, tetap ada yang berteguh hati melawan musuh. Akan tetapi setiap orang yang hadir bisa tahu, pasukan Muslim diambang kekalahan.

Musailamah makin jumawa. Pasukan Musailamah merupakan musuh terkuat di rangkaian peperangan Riddah. Perang melawan kaum murtad di masa Kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq. Perang penentuan eksistensi politik Madinah. Perang yang mengesahkan keimanan penduduk Makkah dan Thaif, yang tetap setia di bawah bendera Islam.

Dalam untaian kata-kata Tsabit bin Qais tadi tersirat, spirit perang kaum Muslimin berbeda jauh dibandingkan waktu Baginda Nabi masih hidup. Tsabit sebagai mujahid senior andalan kaum Anshar tahu betul situasi. Posisi kaum Muslimin tidak menguntungkan. Keunggulan berada di pihak pasukan nabi palsu Musailamah. Tsabit cermat membaca situasi, bahkan ajalnya sendiri.

Tsabit berinisiatif di tengah kecamuk perang. Pria yang pernah dipersaudarakan dengan Ammar bin Yasir ini membaluri dirinya dengan minyak jenazah. Ia bungkus dirinya dengan pakaian-pakaian putih, yang dipersiapkan sebagai kafannya. Yang perlu ia lakukan hanyalah menjauh sedikit dari pusat pertempuran. Ia yakin sebentar lagi pasukan musuh akan mengerebuti dirinya.

Unik. Tsabit menggali lubang untuk dirinya. Sejauh ini belum ada para sahabat Nabi yang ahli perang melakukan hal semacam itu. Apakah ini sebuah taktik jitu? Ternyata tidak.

Tsabit hanya mempersiapkan kematiannya dengan cara yang jantan. Sampai langit runtuh, tidak mungkin pembawa panji Anshar memperlihatkan sikap pengecut. Namun Tsabit melihat kemaksiatan dalam situasi perang: pasukan Muslim tercerai-berai. Lemah semangat dalam bertempur.

Ia memakai kafannya tadi. Badannya ia masukan ke lubang. Di lubang itu Tsabit tidak berbaring, melainkan berdiri. Tanah menutupinya hampir sedada, lengan dibiarkan bebas agar dapat menerjang musuh. Tsabit tahu kemenangan dari Allah hanya diraih dengan kesatuan hati pasukan. Dengan shaff yang disiplin. Dengan taqwa yang menjulang tinggi. Bagaimana mungkin pasukan bermental lemah akan mendapat nashrun minallah ?

Musuh pun telah menyadari komandan Anshar tersebut. Kini Tsabit mesti siap menghadapi terjangan pasukan musuh. Sendirian. Cukup gigih Tsabit melawan. Sampai titik darah penghabisan. Tsabit akhirnya berjumpa dengan Rabbnya dengan status syahid. Khatibul Anshar, sang Juru bicara Baginda Nabi menghembuskan nafas terakhirnya dengan cara yang tidak biasa.
Sudut pandang modern akan melihat apa yang dilakukannya sebagai sesuatu yang aneh. Laksana orang yang putus asa. Padahal berperang sendirian dianggap terpuji dalam situasi genting. Pernah dilakukan oleh beberapa orang sahabat Nabi, seperti al-Barra bin Malik, Khalid bin Walid, dan beberapa orang lainnya. Melawan musuh seorang diri. Umumnya dilakukan saat mental kaum Muslimin kendor. Harus ada figur-figur yang jadi pemantik.

Intinya sederhana: Mengobarkan semangat pasukan lainnya. Dengan syahidnya juru bicara Nabi sekaligus komandan Anshar ini, tentu akan memantik kobaran semangat para mujahid. Apalagi jenazahnya di lubang telah tercabik-cabik senjata musuh. Para mujahid tahu betul mahalnya darah seorang Muslim.

Benar saja, Panglima Khalid bin Walid baru bisa menyerang balik di kala letupan semangat para pejuang telah berkobar lagi. Spirit berperang adalah ‘panglima sesungguhnya’ dalam pertempuran. Taktik, strategi dan perlengkapan senjata apapun tiada guna tanpa spirit berperang. Man behind the gun amatlah menentukan.

Waktu Tsabit menggapai syahid, ada seorang prajurit mualaf mengambil baju besinya. Baju pelindung yang biasa dipakai saat perang. Mungkin dalam benaknya, baju perang Tsabit boleh menjadi miliknya. Ternyata hal ini menjadi wasilah kedatangan Tsabit bin Qais di mimpi seseorang mujahid yang ikut bertempur di Yamamah.

Dalam mimpinya, Tsabit berpesan agar kaum Muslimin mengambil baju besinya itu untuk membayar utang. Hal itu nantinya diketahui Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq. Kisah ini direkam abadi di Musnad Ahmad, juga diriwayatkan Thabrani, Al-Ashbahani serta dikutip dalam Siyar A’lam an-Nubala adz-Dzahabi.

Benar saja. Dalam mimpi si mujahid tadi, Tsabit mengabarkan bahwa baju besinya diambil seorang prajurit mualaf yang rumahnya sangat jauh dari medan tempur. Hal ini baru diketahui setelah kemenangan gemilang di Perang Yamamah. Mujahid yang didatangi Tsabit dalam mimpinya langsung melapor kepada Panglima Khalid bin Walid.

Sang “Pedang Allah” langsung mengirimkan utusan agar mengambil baju perangnya dari mualaf tadi. Sesuai dengan pesan Tsabit dalam mimpi baju besi diambil kembali. Lantas hal ini dilaporkan kepada Khalifah Abu Bakar.

Mungkin saja si mualaf tadi belum memahami Islam secara utuh. Jadinya main ambil-ambil barang orang seenaknya, tanpa diketahui pimpinan perang. Di mana seharusnya si mualaf melapor pimpinan jika selesai peperangan. Jika baju perangnya Tsabit dipakai oleh dirinya.

Dalam mimpi yang sempat menghebohkan para prajurit itu, Tsabit sebenarnya hanya ingin membayar utang dari baju besinya tadi.

Khalifah Abu Bakar mengurus semua pesan Tsabit. Mengetahui perihal hutangnya dan telah melunaskannya. Ini membuat kita semakin yakin, manusia sehebat Tsabit saja bisa terhalang dari ganjaran Surga jika punya utang. Oleh karena itu, ia ingin agar khalifah Abu Bakar mengetahui perihalnya hingga urusan duniawinya selesai.

Tsabit seorang komandan perang hebat, mujahid senior dan tokoh Anshar. Ia dikaruniai syahid. Ternyata itu semua masih membuatnya ketakutan dengan yang namanya utang. Sampai ia harus mendatangi temannya di dalam mimpi.

Kematiannya mengobar spirit jihad para prajurit.

Di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid. Tsabit menjadi tokoh kunci pemantik semangat kaum Muslimin hingga berhasil memperoleh kemenangan. Pasukan Musailamah dipukul mundur hingga ke dalam benteng. Pada akhirnya kemenangan berpihak kepada para mujahid. Semua diawali oleh Tsabit, kendati dengan cara yang tak terpikir oleh dunia.

Juru bicara Islam ini membuktikan, kekuatannya dalam berperang tidak kalah dengan kemampuan hujjahnya berkomunikasi lewat lisan. Tak ada lagi orang sepertinya. Tak ada lagi orang-orang yang wafat seperti dirinya. Di mana dunia terperanjat menyaksikan kematiannya. Syahid dengan cara tak biasa.

Ilham Martasyabana
Penggiat Sirah Nabawiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − four =