Kisah Seorang Waliyullah di Zaman Utsmani

Murad Oglu Ahmed alias Sultan Murad IV.
ULAMA sufi ternama Ibnu Athaillah as-Sakandari, selain memiliki karya monumentalnya dalam bidang ilmu tasawuf, “Al-Hikam”, juga memiliki sebuah kitab berjudul “Lathaif al-Mannan”.
Dalam kitab ini, Ibnu Athaillah banyak mengungkapkan hal ihwal berkenaan dengan dunia tasawuf. Menurutnya kedudukan wali di sisi Allah jika dibandingkan dengan kalangan awam sangatlah tinggi. Posisi itu telah dipertegas oleh berbagai teks, baik yang termaktub dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Salah satu hadis yang menguatkan tempat mulia wali di hadapan Allah ialah riwayat yang dinukil oleh Abu Hurairah. Disebutkan di hadis itu bahwa barang siapa yang memusuhi wali Allah, ia telah menyulut perang.
Kedekatan waliyullah dengan Tuhannya pun dipersonifikasikan dengan pengibaratan bahwa segala pembicaraan, pendengaran, dan penglihatan wali bersumber dan selalu diawasi oleh Allah. Derajat yang diperoleh waliyullah itu merupakan buah dari mujahadah yang mereka lakukan.
Para waliyullah mampu menaklukkan jiwa dan nafsu mereka semata-mata untuk Allah. Atas keberhasilan itu, Allah menjadi penolong dan penjaga bagi mereka.
Hal itu sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS ath-Thalaq [65]: 3).
Terkait dengan keberadaan waliyullah yang demikian dekat dengan Allah SWT itu, salah satu penguasa Turki Utsmani, Sultan Murad IV, memiliki kisah yang luar biasa. Adalah Syaikh Al Musnid Hamid Akram Al Bukhary yang menceritakan kisah itu dari “Mudzakkiraat Sultan Murad IV“.
Murad Oglu Ahmed atau Murad IV adalah khalifah Turki Utsmani yang wafat dalam usia muda, 27 tahun. Namun demikian ia telah memerintah selama hampir 17 tahun. Artinya ia naik tahta dalam usia 10 tahun.
Dalam buku hariannya, Sultan Murad IV mengisahkan, bahwa suatu malam dia merasakan kegalauan yang sangat, dia ingin tahu apa penyebabnya. Maka dia memanggil kepala pengawalnya dan memberitahu apa yang dirasakannya.
Sultan Turki Utsmani periode 10 September 1623 hingga 9 Februari 1640 ini pun berkata kepada kepala pengawal, “Mari kita keluar sejenak.” Sultan dan pengawalnya lantas pergi berkeliling kota hingga tibalah merekadi sebuah lorong yang sempit.