Ketika Kurikulum Tak Ditulis, Tapi Diwariskan
Ponpes Nurul Jalal, Warakas, Jakarta Utara.
Tradisi yang Mengelola Tekanan Regulasi
Namun pesantren hari ini tidak bisa hidup sepenuhnya dalam dunia mereka sendiri. Regulasi pendidikan nasional tetap menuntut legitimasi formal. NSP, akreditasi, kurikulum Kemenag, hingga pelaporan berbasis aplikasi menjadi syarat agar pesantren tetap diakui. Di sinilah letak ketegangan itu. Bagaimana mempertahankan kurikulum berbasis kitab kuning sambil tetap mengakses legalitas dan dukungan negara?
Pesantren Nurul Jalal memilih jalan integrasi. Mereka tetap menjalankan sistem kitab kuning secara mandiri di malam hari, tapi juga menyelenggarakan pendidikan formal di pagi hari. Ini adalah bentuk strategi kompromi yang memungkinkan mereka eksis tanpa kehilangan ruh tradisi.
Karl Mannheim (1954) menyebutnya sebagai ideologi pengetahuan: bahwa pengetahuan tidak pernah netral, tapi selalu membawa posisi sosial dan nilai tertentu. Dalam konteks pesantren, mempertahankan kitab kuning adalah cara untuk mempertahankan otonomi epistemologis umat Islam.
Membaca Masa Depan dari Warisan Masa Lalu
Kitab kuning mungkin tak pernah masuk daftar bacaan wajib siswa sekolah formal. Tapi ia tetap bertahan. Ia tak diukur lewat nilai rapor atau ijazah, tapi lewat kebermanfaatan dan keberkahan ilmu yang diwariskan dari kiai ke murid, dari generasi ke generasi.
Di tengah krisis kepercayaan terhadap sistem pendidikan yang semakin administratif dan berbasis angka, pesantren justru tampil sebagai alternatif: tempat pendidikan berbasis makna, bukan sekadar data.
Pesantren seperti Nurul Jalal adalah contoh nyata bahwa pendidikan sejati tidak harus tertulis, selama ia tetap hidup dan dijalani. Tradisi mereka bukan beban masa lalu, tapi sumber inspirasi masa depan. Di dunia yang makin cepat, pesantren mungkin tampak lambat. Tapi mungkin justru karena itulah mereka paling dalam.[]
Dinda Fatimah Zahra Syam Alfauzan, Mahasiswa Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA).
