Ketika Kurikulum Tak Ditulis, Tapi Diwariskan

 Ketika Kurikulum Tak Ditulis, Tapi Diwariskan

Ponpes Nurul Jalal, Warakas, Jakarta Utara.

DALAM dunia pendidikan formal, silabus, RPP, dan indikator capaian kompetensi menjadi fondasi utama. Semua harus serba terukur, tertulis, dan terstruktur. Namun, di Pondok Pesantren Nurul Jalal, Warakas, Jakarta Utara, kurikulum tidak hadir dalam bentuk dokumen. Ia hidup dalam tradisi lisan, relasi sosial, dan kesinambungan adab keilmuan.

Sistem ini dikenal sebagai kurikulum kitab kuning —pola pendidikan Islam berbasis teks-teks klasik berbahasa Arab tanpa harakat, yang diwariskan lintas generasi, tanpa pernah masuk dalam silabus resmi Kementerian.

Ketika dunia pendidikan sibuk menyusun perangkat ajar dan mengejar akreditasi, pesantren tetap tenang dalam ritme yang berbeda. Tidak ada ujian pilihan ganda. Tidak ada nilai KKM. Santri datang, duduk bersila, membuka kitab, dan belajar dengan cara yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Kitab kuning bukan sekadar teks, melainkan ruh dari seluruh proses pendidikan pesantren.

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta Utara, Pesantren Nurul Jalal berdiri sebagai contoh bagaimana tradisi ini tetap bertahan. Dipimpin oleh Kyai Abi Ichwanuddin dan dikelola oleh Buya Wahyu Mischbah, pesantren ini menjalankan sistem madrasah formal (Rl MTs, MA) namun tetap mempertahankan pola tradisional. Kitab kuning diajarkan setiap malam, sementara di pagi hingga siang, santri mengikuti kurikulum nasional.

Yang menarik, dalam pembelajaran agama formal seperti fikih, akidah, hadis, dan akhlak, pesantren ini tidak menggunakan LKS atau modul pendidikan nasional. “Kita gunakan buku paket, bahkan langsung kitab kuning,” kata Buya Wahyu dalam wawancara singkat.

Hanya pelajaran umum seperti IPA dan IPS yang masih mengacu pada buku Kemdikbud. Bahkan, untuk mendukung efektivitas pembelajaran gramatika Arab, Nurul Jalal menggunakan Metode 33 dan Shorof Praktis ala Krapyak Yogyakarta —sebuah pendekatan cepat dan sistematis yang membantu santri memahami nahwu dan shorof secara aplikatif.

Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, seperti dijelaskan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966), kurikulum kitab kuning adalah bentuk konstruksi sosial pengetahuan. Ia hidup bukan karena kewajiban regulatif, melainkan karena dilembagakan dalam struktur sosial komunitas pesantren. Pengetahuan ini tidak hanya ditularkan secara kognitif, tetapi juga dihayati secara emosional dan spiritual dalam relasi antara kiai dan santri. Kitab kuning tidak hanya dibaca—ia dijalani.

Kurikulum yang Tak Tertulis, tapi Tersirat

Di Nurul Jalal, pembelajaran kitab dibagi dalam tiga jenjang: ula, wustho, dan ulya. Santri pemula mempelajari Safinatun Najah atau Tijan ad-Daruri, lalu naik ke Jurumiyah, Imrithi, hingga akhirnya mengaji Alfiyah Ibnu Malik. Tidak ada daftar resmi atau kurikulum cetak. Namun semua orang di pesantren tahu urutannya. “Setiap tingkatan bukan cuma soal isi, tapi soal kesiapan nalar dan adab santri,” jelas Buya Wahyu.

Metode seperti sorogan (santri membaca sendiri di hadapan guru) dan bandongan (guru membaca, santri menyimak) masih dipertahankan. Dalam metode ini, proses belajar bukan sekadar transfer ilmu, melainkan juga transfer nilai.

Seperti dikatakan Berger dan Luckmann, proses ini adalah bentuk internalisasi pengetahuan, ketika makna sosial menjadi bagian dari kesadaran pribadi. Maka meski tidak punya silabus resmi, sistem ini tidak bisa dikatakan “tanpa arah”. Justru karena ia berbasis konsensus sosial dan nilai-nilai luhur, ia berjalan secara sistematis meski tak terdokumentasi secara administratif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three + seventeen =